Kamu dapat bayangkan bagaimana perasaanmu pada pukul 12 malam. Hingga 40 menit kemudian petasan mulai sirna, suaranya melempem dan kamu mulai merasa bahwa kebahagiaan, dan sesuatu yang spesial hanyalah sementara.
Sekarang mari kita menjelajah ke lirik Selamat Datang - Lomba Sihir, dalam bentuk yang lebih fiktif.
Andaikan saja. Kamu merasa di perpustakaan lantai paling atas, kamu sendirian. Kamu ditemani oleh lampu kuning di sepanjang sudutnya dengan atap kaca, kamu dapat melihat langit Jakarta dipenuhi bintang, dan redupan petasan kemudian disambut dengan kotornya asap. Kamu membayangkan sebetapa manusia mengotori waktu yang berlalu, hanya demi kebahagiaan yang bersifat seremonial.
Namun, kamu merasa hari ini tidaklah buruk sebab kamu aman berada di dalam perpustakaan. Bukankah justru bagus? Pemandangannya seperti novel fiksi yang sering kamu baca. Para astrologi ternama melihat bintang-bintang, planet, dunia lain melalui teleskop di perpustakaan beratap kaca.
Lantas seolah-olah mereka akan membaca setiap pergerakan bintang jatuh, hingga membawa mimpi mereka. Penulis akan berfantasi bahwa sang astrologi adalah orang jenius yang akan melantunkan lirik Lomba Sihir,
Arena akbar mengulang diri...
Arena akbar merusak diri...
Arena akbar mengulang diri...
Arena akbar merusak diri...
Selamat datang di ujung dunia...
Gegap gempita Jakarta...
Selamat datang di ujung dunia...
Gegap gempita Jakarta...
Kamu menutup bukumu. Kamu sadar, bahwa yang selama ini dibayangkan hanyalah hal-hal fiktif. Ketika kamu tidak berani menutup bukumu dan menjalankan sesuatu yang berat, sesuatu yang mustahil, sesuatu yang berisiko. Kamu terus akan terjebak di dalam perpustakaan kaca. Dosa dan ketidakdisiplinan manusia terus bergema sepanjang kota di kala air laut tak kuat lagi mengguyur.
Lomba Sihir itu seperti muka dua. Kita dibawa ke lirik lagu yang relate padahal kalau ditelaah, sebenarnya adalah untuk menyindir. Ada masa di mana tidak semua yang diharapkan berjalan mulus. Maka ini tertuang dalam lagu Jalan Tikus dan Polusi Cahaya. Jalan Tikus membahas tentang 'siasat manusia' sebagai simbolis: ingin sesuatu yang instan.
Menganggap bahwa semua hal yang mereka dambakan dapat digapai dengan cepat, praktis, efisien, dan melalui jalan tikus. Kemudian disindir melalui Polusi Cahaya yang secara kesinambungan membahas tangga-tangga sebagai simbolis dari: segelintir orang yang kalah bertaruh dengan mimpi, harapan, tujuan, pencapaian, target, dan segala sesuatu yang mereka dambakan.
Sebagaimana di awal telah disinggung bahwa Jakarta digambarkan sebagai kota yang gegap gempita, penuh dosa, dan merupakan penghujung dunia, maka tak heran jika di salah satu dari sekian banyak lagu (saya baru memilih beberapa di antaranya) pun sudah menyindir bahwa hal yang didambakan tak selamanya begitu dan juga semua pergumulan akan terus begitu disindir melalui lagu Semua Orang Pernah Sakit Hati.
Album Selamat Datang di Ujung Dunia itu meromantisasi makian kalau boleh jujur. Maka, kalimat seperti "Penjara termewah dunia..." secara pleonasme akan diucapkan.
Kenapa saya bilang itu pleonasme? Karena lagu ini sudah gamblang berbicara tentang segala kotor-kotornya seisi dunia, seisi impian manusia, seperti yang sudah saya paparkan di awal.