Mohon tunggu...
Artani Hapsari
Artani Hapsari Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Berpraktik sehari-hari di Lembaga Psikologi Insania Indonesia Gresik. Tertarik pada bidang ilmu psikologi, terutama psikologi remaja dan dewasa awal. Semoga tulisan yang saya bagikan dapat bermanfaat :)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Khawatir Sakit di Masa Pandemi, Wajarkah?

11 Oktober 2020   12:10 Diperbarui: 11 Oktober 2020   12:29 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun ia sudah rapid test dan hasilnya non-reaktif, keluhan ini tetap muncul. Ia tidak percaya pada rapid test karena menonton berita di televisi yang menyatakan rapid test tidak akurat dan akhirnya memilih untuk melakukan swab test bersama suaminya dengan biaya yang tidak sedikit. 

Setelah keduanya dinyatakan negatif, kondisinya berangsur membaik tanpa ada konsumsi obat apapun. Mengutip kalimat dari klien tersebut, ia mengatakan “Akhirnya saya bisa kembali hidup normal.”. 

Klien berikutnya berjenis kelamin pria, berusia pertengahan 20-an sudah satu bulan sakit flu dan batuk yang tak kunjung membaik padahal sudah rutin minum obat dari dokter. Ia bahkan membeli sendiri obat-obatan tersebut setelah habis dikonsumsi. 

Dua minggu terakhir, muncul rasa nyeri di bagian dada setiap bangun tidur. Setelah digali lebih jauh, ternyata dia membaca hampir setiap artikel yang membahas tentang Covid-19 melalui sosial medianya. 

Ia pun menyadari bahwa keluhan fisik tersebut semakin intens rasa sakitnya setelah ia menemukan fakta yang “menyeramkan” terkait pandemi ini.

Dari beberapa contoh yang saya paparkan di atas, terjadi pola yang hampir sama yaitu muncul keluhan fisik (demam, flu, batuk, sesak nafas, nyeri dada, dsb) yang kemudian sudah ke dokter dan minum obat, tetapi kondisi tidak kunjung membaik.

Namun setelah sumber masalah (stressor) hilang, kondisi fisik berangsur membaik. Keluhan fisik jauh berkurang atau bahkan tidak muncul sama sekali. 

Fenomena munculnya keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan secara medis atau menyertai perasaan tertekan, di dalam istilah psikologi disebut dengan somatisasi (DSM-5).

Gejala Gangguan Somatisasi dalam DSM-5:

  1. Muncul satu atau lebih gejala somatik yang menyebabkan stress atau mengakibatkan gangguan yang signifikan pada kehidupan sehari-hari
  2. Pikiran, perasaan, atau perilaku yang berlebihan terkait dengan gejala somatik atau permasalahan kesehatan terkait seperti yang ditunjukkan oleh setidaknya satu gejala di bawah ini:
    • Pikiran yang berlebih dan terus-menerus tentang keseriusan gejala fisik yang dialami
    • Muncul rasa kecemasan yang tinggi dan terus-menerus tentang kesehatan atau gejala fisik
    • Terlalu banyak waktu dan energi dihabiskan untuk memikirkan gejala fisik atau masalah kesehatan ini
  3. Meskipun salah satu gejala somatik mungkin tidak muncul terus-menerus, keadaan mengalami gejala tetap ada (biasanya lebih dari 6 bulan).

Kondisi somatisasi ini bisa dialami oleh siapa saja, terutama pada mereka yang berada dalam kondisi stres dan tertekan. Penelitian yang dilakukan oleh Liuyi Ran, dkk tahun 2020 mengambil sampel 1770 orang dengan rata-rata usia 28 tahun di Cina saat masa puncak pandemi.

Hasilnya diperoleh sebanyak 45,9% sampel mengalami gejala somatisasi, terutama pada mereka dengan kadar resiliensi rendah. Tidak hanya masyarakat umum, tenaga kesehatan sekalipun mengalami gejala somatisasi di tengah kondisi pandemi seperti saat ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun