Mohon tunggu...
Arta Elisabeth
Arta Elisabeth Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca, Penulis dan Penghayat Sastra

Pembaca yang sedang senang-senangnya membaca dan menghayati sastra

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

UU PDP Dihadapan Hak Warga dan Koorporasi Swasta

8 November 2019   16:20 Diperbarui: 8 November 2019   16:44 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Personal Data (sumber: Tempo)

Teknologi kian berkembang, penggunaannya kian masif, privasi kian menipis. Banyak aplikasi-aplikasi yang meminta penggunannya menyetorkan data pribadi, seperti nomor ponsel, alamat posel, akun media sosial, bahkan nomor rekening.

Data pribadi disetor ke pihak swasta tetapi konsumennya tidak mengetahui untuk apa data-data itu digunakan. Hal itu punya potensi buruk disalahgunakan.

Kasus terbongkarnya penyalahgunaan data pribadi oleh Facebook menambah daftar panjang penyalahgunaan tersebut.

Beberapa pihak swasta bahkan menjadikan data pribadi sebagai komoditas yang diperjualbelikan demi keuntungan sendiri. Sampai saat ini, belum ada undang-undang khusus yang mengatur perlindungan data pribadi (PDP) di Indonesia.

Tenaga Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika, Donny B.U, menyatakan bahwa saat ini perlindungan data belum terakomodir dalam satu undang-undang yang utuh. Substansi atas persoalan ini setidaknya tersebar dalam 32 undang-undang. Seluruhnya masih tumpang tindih sehingga apabila terjadi penyalahgunaan data pribadi, penyelesaian atasnya masih begitu rumit.

Regulasi mengenai perlindungan data pribadi di Indonesia baru dibuat di wilayah Kemenkominfo melalui Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan data Pribadi yang ditetapkan pada 7 November 2016. Namun, belakangan, setelah pergantian kabinet dan RKUHP kembali dibahas, isu ini kembali mencuat.

Menkominfo Johny G Plate baru saja mengajukan draf undang-undang ini ke komisi I DPR untuk dibahas. Ia menargetkan penyelesaian pembahasan ini pada Oktober 2020.

Johny menyebut perlindungan data pribadi sebagai salah satu program prioritas di masa jabatannya. Sebab, dari 180 negara di dunia, 162 negara di antaranya telah memiliki peraturan tentang hal ini.

Artinya, negara lain meletakkan tema ini sebagai bagian penting dari persoalan demokrasi kekinian yang menyangkut hak dasar warga negara.

Dalam hal ini, Indonesia tentu saja tertinggal jauh dari negara-negara lain. Kebutuhan untuk melegalkan paying hukum PDP saat ini begitu mendesak.

Banyak pihak telah menuntut pengesahannya, salah satunya ICT Watch, organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada pembangunan kapasitas sumber daya manusa atas pengetahuan dan kemampuan literasi digital. Koordinator ICT Watch, Indriyatno Banyumurti, telah lama memperjuangkan PDP.

Pada Agustus 2019, ia juga menyampaikan sikap ICT berupa lima desakan terhadap pemerintah. Pada poin lima, ICT menyampaikan desakan ini menyangkut maraknya kasus pelanggaran privasi yang dilakukan sejumlah layanan dan platform daring.

Jelas, dalam urusan PDP, ada tiga pihak yang terkait. Pertama, korporasi swasta di jalur daring yang biasanya memiliki data pribadi konsumennya. Dua, konsumen yang menggunakan layanan online sekaligus menyetor data pribadinya.

Ketiga, pemerintah sebagai pihak yang memiliki wewenang untuk memastikan transaksi konsumen dengan penyedia jasa berjalan aman. Persoalan ini tentu baru muncul dalam satu dekade terakhir seiring dengan perkembangan cepat teknologi dan internet.

Dengan desakan besar serta komitmen Menkominfo terhadap UU PDP, besar kemungkinan paying hukumnya akan segera terealisasi, setidaknya sampai tenggat waktu yang ditentukan pada Oktober 2020. Namun, persoalan yang dikhawatirkan banyak pihak adalah apakah undang-undang ini mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi.

Dalam Washington College of Law Journals & Law Reviews volume VI, Mark D. Finweck dan koleganya menulis sebuah artikel yang mengkhawatirkan kecepatan teknologi akan melampaui aturan hukum. Aturan-aturan yang pemerintah buat untuk melingkupi teknologi akan selalu kalah dari kemajuan teknologi itu sendiri. Dengan pengandaian demikian, hukum yang dibuat berpotensi tidak akan mampu menangkap seluruh aspek dunia teknologi.

Ada dua konsekuensi jika UU PDP tidak mampu menyesuaikan perkembangan teknologi. Pertama, UU tidak mampu melindungi warga apabila terjadi penyelewengan data privasi dalam sistem teknologi baru. Kedua, UU PDP justru akan menghambat inovasi-inovasi layanan daring atau start up yang baru bertumbuh.

Di Eropa misalnya, aturan serupa dalam General Data Protection Regulation banyak menimbulkan hambatan bagi perusahaan rintisan yang tengah berkembang karena aturan mengenai privasi.

Dengan demikian, UU PDP musti dirancang agar dapat memenuhi kebutuhan warga negara dan perusahaan-perusahaan swasta. Bagaimanapun, sektor industry yang terus berkembang berada di wilayah daring. Terlebih, pemerintah telah menargetkan Indonesia menjadi pusat e-commerce di Asia Tenggara pada 2020 mendatang.  

Dengan demikian, UU PDP perlu dirumuskan secara lebih serius dengan memertimbangkan banyak hal. Pertama, pertimbangan hak warga negara untuk merasa aman apabila melakukan transaksi-transaksi daring agar tidak terjadi penyalahgunaan data pribadi. Kedua, arus bisnis daring yang terus berkembang. UU jangan sampai menjadi penghambat start up kecil.

Soal aturan menyangkut perkembangan teknologi, Fenwick menyarankan agar pemerintah suatu negara meninggalkan pola lama pembuatan kebijakan yang hanya berfokus pada parlemen dan para ahli. Pembuatan aturan tersebut harus memerhatikan aspek keterbukaan dan fleksibilitas dengan melibatkan perusahaan, start up, ahli, dan publik. Seperti ucapan Presiden Joko Widodo, "Kini data lebih mahal berharga dari minyak." Oleh sebab itu, pembicaraan mengenai perlindungan data pribadi tidak boleh murahan.

Penulis : 

Retnaningsih Eni N

Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UAJY

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun