Mohon tunggu...
Arta Elisabeth
Arta Elisabeth Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca, Penulis dan Penghayat Sastra

Pembaca yang sedang senang-senangnya membaca dan menghayati sastra

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

UU PDP Dihadapan Hak Warga dan Koorporasi Swasta

8 November 2019   16:20 Diperbarui: 8 November 2019   16:44 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Personal Data (sumber: Tempo)

Pada Agustus 2019, ia juga menyampaikan sikap ICT berupa lima desakan terhadap pemerintah. Pada poin lima, ICT menyampaikan desakan ini menyangkut maraknya kasus pelanggaran privasi yang dilakukan sejumlah layanan dan platform daring.

Jelas, dalam urusan PDP, ada tiga pihak yang terkait. Pertama, korporasi swasta di jalur daring yang biasanya memiliki data pribadi konsumennya. Dua, konsumen yang menggunakan layanan online sekaligus menyetor data pribadinya.

Ketiga, pemerintah sebagai pihak yang memiliki wewenang untuk memastikan transaksi konsumen dengan penyedia jasa berjalan aman. Persoalan ini tentu baru muncul dalam satu dekade terakhir seiring dengan perkembangan cepat teknologi dan internet.

Dengan desakan besar serta komitmen Menkominfo terhadap UU PDP, besar kemungkinan paying hukumnya akan segera terealisasi, setidaknya sampai tenggat waktu yang ditentukan pada Oktober 2020. Namun, persoalan yang dikhawatirkan banyak pihak adalah apakah undang-undang ini mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi.

Dalam Washington College of Law Journals & Law Reviews volume VI, Mark D. Finweck dan koleganya menulis sebuah artikel yang mengkhawatirkan kecepatan teknologi akan melampaui aturan hukum. Aturan-aturan yang pemerintah buat untuk melingkupi teknologi akan selalu kalah dari kemajuan teknologi itu sendiri. Dengan pengandaian demikian, hukum yang dibuat berpotensi tidak akan mampu menangkap seluruh aspek dunia teknologi.

Ada dua konsekuensi jika UU PDP tidak mampu menyesuaikan perkembangan teknologi. Pertama, UU tidak mampu melindungi warga apabila terjadi penyelewengan data privasi dalam sistem teknologi baru. Kedua, UU PDP justru akan menghambat inovasi-inovasi layanan daring atau start up yang baru bertumbuh.

Di Eropa misalnya, aturan serupa dalam General Data Protection Regulation banyak menimbulkan hambatan bagi perusahaan rintisan yang tengah berkembang karena aturan mengenai privasi.

Dengan demikian, UU PDP musti dirancang agar dapat memenuhi kebutuhan warga negara dan perusahaan-perusahaan swasta. Bagaimanapun, sektor industry yang terus berkembang berada di wilayah daring. Terlebih, pemerintah telah menargetkan Indonesia menjadi pusat e-commerce di Asia Tenggara pada 2020 mendatang.  

Dengan demikian, UU PDP perlu dirumuskan secara lebih serius dengan memertimbangkan banyak hal. Pertama, pertimbangan hak warga negara untuk merasa aman apabila melakukan transaksi-transaksi daring agar tidak terjadi penyalahgunaan data pribadi. Kedua, arus bisnis daring yang terus berkembang. UU jangan sampai menjadi penghambat start up kecil.

Soal aturan menyangkut perkembangan teknologi, Fenwick menyarankan agar pemerintah suatu negara meninggalkan pola lama pembuatan kebijakan yang hanya berfokus pada parlemen dan para ahli. Pembuatan aturan tersebut harus memerhatikan aspek keterbukaan dan fleksibilitas dengan melibatkan perusahaan, start up, ahli, dan publik. Seperti ucapan Presiden Joko Widodo, "Kini data lebih mahal berharga dari minyak." Oleh sebab itu, pembicaraan mengenai perlindungan data pribadi tidak boleh murahan.

Penulis : 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun