Mohon tunggu...
Arsy Tendor
Arsy Tendor Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pernahkah Kamu Bertanya, Apa Itu Cinta?

2 Juli 2020   17:00 Diperbarui: 2 Juli 2020   17:01 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Setiap orang memiliki cara untuk mengungkapkan cinta. Orang mengungkapkannya dengan bahasa-bahasa metafora, dengan kata-kata puitis, kadang-kadang terkesan bombastis. Di lain hal, orang bercakap-cakap tentang cinta segitiga, cinta bertepuk sebelah tangan, bucin, cinta pertama, cinta satu malam, cinta monyet, cinta buta, dan sebagainya. Tak salah lagi, cinta memang bagian dari hidup kita.

Kehidupan manusia itu kompleks. Cinta juga  kadang-kadang rumit, berbelit-belit, dan kadang susah untuk dipahami. Mungkin ini menjadi salah satu alasan mengapa prahara cinta selalu menjadi bagian dari diskusi sehari-hari. Akan tetapi, pernahkah orang bertanya tentang makna terdalam dari cinta? Apa arti mencintai? Kenapa harus mencintai?

Alasan menggunakan frasa "Jatuh cinta"

Akhir-akhir ini kami seringkali berbincang-bincang tentang frasa "jatuh cinta". Kami tidak sedang membahas tentang bagaimana harus mencintai. Kami hendak mencari jawaban mengapa orang menggunakan frasa "jatuh cinta" dan kenapa tidak menggunakan kata kerja mencintai.

Perhatikan ketika mendengar orang berbicara, "saya sedang jatuh cinta". Atau kita melihat tulisan seperti ini, "jatuh cinta pada pandangan pertama". Yang kami diskusikan adalah kenapa di depan kata cinta itu, ada kata jatuh. Seolah-olah cinta itu jatuh. Kita mungkin membela dengan berkata, jangan menafsirkan kalimat secara harfiah. Tetapi, bukankah setiap kata itu memiliki arti?

Barangkali kita juga mendengar orang mengucapkan kalimat ini, "dia sedang jatuh hati." Seolah-olah hati kita terjatuh, padahal organ manusia tidak pernah jatuh kecuali ada alasan medis. Pertanyaan kami adalah, kenapa orang tidak mengatakan kalimat ini, "saya sedang mencintai" tetapi orang lebih tertarik dengan kalimat "saya sedang jatuh cinta".

Diskusi receh kami barangkali aneh dan mungkin terkesan mengada-ada. Ya, begitulah kami. Percakapan santai yang sepintas tak berfaedah tapi bila ditelaah lebih dalam sebenarnya ada makna yang tersembunyi. Yang tersembunyi itulah yang perlu digali. Tidak membutuhkan tenaga yang menguras banyak energi tetapi cukup dengan situasi hening yang ditemani secangkir kopi.

Saya pun tergerak untuk merefleksikan lebih jauh tentang makna kata jatuh ini. Selama ini mungkin kita kerap kali menggunakannya hingga lupa untuk memikirkannya. Entahlah kapan kita menggunakannya, mungkin sudah lupa. Untuk orang yang memiliki mantan gebetan tak terhitung, mungkin dia sudah lupa berapa kali ia menggunakan dua kata ini. Tetapi, untuk mereka yang gebetannya bisa dihitung selama ia menghuni semesta, dia mungkin bisa menebak berapa kali ia menggunakannya. Ya, walaupun tidak tepat. Yang membaca tulisan ini semoga berada diantara dua ekstrem ini. Orang bilang berlebihan itu menghanyutkan dan kekurangan itu meruntuhkan. Benar dan salahnya tergantung bagaimana kita menangkap artinya.

Aristoteles dan Dua Ekstrem Mencintai

Aristoteles? Saya berharap kita tidak merasa ini rumit setelah melihat ada nama beliau. Tenang saja. Ini ringan. Dipastikan kita mudah membacanya karena memang tulisan ini  tak seberapa. Hanyalah sepercik isi hati yang barangkali memiliki arti.

Sang pemikir Yunani kuno ini sudah mengantisipasi lebih awal tentang dua tegangan di atas. Beliau berbicara tentang keutamaan sebagai jalan tengah. Tentunya maksud pemikirannya bukan berarti keutamaan itu sebagai sikap setengah-setengah. Maksud konsep keutamaan sebagai jalan tengah  adalah sebuah tindakan itu menjadi baik ketika orang menghindari dua ekstrem. Dua ekstrim itu adalah tindakan yang terlalu kurang dan tindakan yang berlebih-lebihan. Kita mungkin biasa menyebutnya balance.

Misalnya keutamaan keberanian adalah jalan tengah di antara sifat pengecut dan gegabah. Keutamaan murah hati adalah keutamaan di antara sikap boros dan kikir. Sifat kikir adalah sifat yang kurang dalam memberi dan sifat boros adalah sifat yang berlebih-lebihan dalam memberi sehingga jalan tengahnya adalah murah hati.

Atau keutamaan kontrol diri yang berada di dua ekstrem. Dua ekstrem itu adalah sifat yang terlalu emosional seperti sembrono atau pemarah dan orang yang terlalu sedikit emosi seperti orang-orang yang apatis. Emosional adalah sikap yang berlebihan dan apatis adalah sikap yang kurang sehingga jalan tengahnya adalah kontrol diri.

Misalnya orang tua memberi uang jajan kepada anak-anaknya selama satu minggu. Jumlah uang seratus ribu terlalu banyak dan sepuluh ribu terlalu sedikit sehingga diputuskan untuk memberi lima puluh lima ribu, jalan tengah diantara seratus ribu dan sepuluh ribu. Ini juga perlu ditelaah lebih jauh. Bagaimana jika anak yang pertama duduk di bangku kuliah dan anak kedua masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Apakah kedua-duanya mendapatkan lima puluh lima ribu itu adalah jalan tengah? Tentu ini bukan jalan tengah yang dimaksudkan oleh Aristoteles.

Jalan tengah yang dimaksudkan beliau adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan porsinya. Kata "porsi" ini juga mungkin relatif sebab setiap orang memiliki tolok ukurnya masing-masing. Selain itu, tidak ada satuan yang bisa mengukurnya. Tetapi, yang pasti jalan tengah yang dimaksud adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan situasi dan konteksnya.

Lalu, apa keutamaan sebagai jalan tengah dari sikap mencintai? Tentu dalam konteks ini yang dimaksud bukan berarti sikap setengah-setengah dalam mencintai. Yang ingin disampaikan di sini adalah mencintai sesuai dengan porsinya. Mencintai yang berlebihan akan terkesan manja. Manja tentunya berbahaya untuk sebuah relasi dan perkembangan mental. Mencintai yang kurang juga terkesan cuek dan berbahaya pula untuk relasi. Ujung-ujungnya relasi bisa pupus karena komunikasi terputus. Lalu, bagaimana harus mencintai?

Kita memiliki relasi, entah dengan pacar, teman, anak, orangtua, atau sahabat. Sikap mencintai berlebihan atau lebih tepatnya manja yang berlebihan bisa membawa candu bagi orang yang dimanja. Ketika kita menghilang atau tiba-tiba berubah sikap, orang yang biasa dimanja akan gelisah, galau, mungkin juga kecewa. Sikap kita telah membuat dia candu dengan manja, akibatnya muncul kata bucin untuk konteks anak zaman sekarang. Sikap cuek yang berlebihan juga bisa meruntuhkan suatu hubungan. Orang menjadi tidak nyaman dan ujung-ujungnya hubungan kandas di tengah jalan. Karena itu, mencintailah sesuai dengan porsi mencintai. Saya berpikir kita paham dan bisa memilih jalan tengah dalam konteks ini.

Bertanya lebih jauh

Sampai di sini, kita harus berani melontarkan kritik. Satu yang mungkin dilupakan dalam mencintai yaitu rasio kadang dikendalikan oleh kehendak. Kita tidak lagi berpikir panjang. Kita tidak mempertimbangkan jalan tengah sebagaimana dijelaskan tadi  dalam mencintai. Rasa kita spontan dan sikap kita juga mengalir begitu saja. Orang kadang lupa mempertimbangkan begini harus bersikap dalam mencintai. Orang terbawa dalam perasaannya.

Logika dikendalikan oleh rasa. Sikap mencintai menutup mata seseorang bagaimana bersikap yang tepat. Lihat saja berapa kasus bunuh diri karena cinta seseorang kandas sebelum ke pelaminan. Beberapa orang menjadi stres karena cintanya pupus di tengah jalan. Di sini tidak ada lagi pertimbangan-pertimbangan rasional karena seperti orang katakan "cinta itu membutakan". Nah, Barangkali ini yang memunculkan kata "jatuh cinta". Cinta itu membuat kita terjatuh. Benarkah?

Cinta yang memiliki dua sisi

Jangan salah. Di satu sisi, cinta mungkin membuat kita terjatuh. Tetapi di sisi lain, cinta itulah yang membuat kita merasa ada setiap waktu. Cinta membuat kita bersemangat setiap hari. Untuk saya yang hidup di tanah perantauan, betapa semangatnya bila mendengar suara dari keluarga meskipun via telepon. Dalam hal ini, saya merasa dicintai.

Atau untuk kita yang memiliki dia yang menjadi teman cerita setiap hari. Sebutan tepatnya mungkin pujaan hati. Betapa semangatnya kita bila mendapatkan sesuatu darinya. Walaupun mungkin sekedar ucapan selamat tidur, diminta jaga kesehatan, jaga diri, mungkin juga jaga hati. Kita menjadi lebih semangat dalam bekerja. Hal ini berarti cinta itu memiliki kekuatan. Cinta mengantar orang pada suasana batin yang makin membara. Akibatnya, aura semangat itu tumbuh dan terwujud dalam energi yang ditumpahkan dalam kegiatan sehari-hari.

Namun, cinta tak hanya seindah itu. Cinta juga bisa melumpuhkan seseorang. Lumpuh dalam konteks ini tentunya bukan hanya lumpuh secara fisik. Hidup seseorang tidak lagi dikendalikan oleh rasio tetapi oleh rasa yang membara di dalam diri. Ketika kita sedang mencintai, mungkin kita lupa dengan pertimbangan rasional. Termasuk saya. Ya, begitulah. Rasio kadangkala tidak bekerja ketika mencintai.

Perhatikan saja, orang rela tidur larut malam hanya untuk bercakap-cakap dengan pacarnya via telepon. Walaupun hanya via suara, orang rela berkorban. Tak peduli, besoknya mungkin akan telat ke tempat kerja. Atau mungkin orang berkelahi karena ada orang ketiga dibalik sebuah hubungan. Bahkan ada yang baku bunuh. Ada pula ancaman untuk bunuh diri karena kekasihnya pergi tanpa ada kabar yang pasti. Cinta itu kejam, bukan? Tak salah lagi, cinta memiliki dua sisi, menghidupkan dan mematikan.

Tentang frasa "Jatuh Cinta"

Kembali ke kata "Jatuh Cinta". Dalam bahasa Inggris, ada kalimat "falling in love". Fallen berarti terjatuh. Secara harfiah bisa diartikan sebagai jatuh ke dalam cinta. Atau mungkin cinta membuat kita terjatuh. Jika dipahami seperti ini, bisa dimaklumi karena cinta itu bisa melumpuhkan karena orang jatuh sebagaimana tadi dijelaskan. Tetapi adakah sesuatu yang ingin disampaikan dari frasa "jatuh cinta"?

Jatuh itu mengindikasikan ada pengorbanan. Ketika kita terjatuh, ada sesuatu yang dikorbankan di sana. Entahlah. Mungkin harga diri, luka fisik, luka batin, keluarga, orang terdekat, atau teman. Begitulah jika jatuh cinta, siap-siap ada yang dikorbankan dari diri kita. Siap-siap disakiti atau mungkin dilukai. Namanya saja jatuh cinta. Cinta itu membuat kita jatuh. Dan justru di sinilah unsur pengorbanannya. Orang rela jatuh karena cinta sehingga muncul frasa "jatuh cinta". Orang pun menggunakan kalimat "saya sedang jatuh cinta", bukan "saya sedang mencintai." Ini tafsiran sederhana saya. Tentunya, bisa pula salah.

Dalam ajaran Kristen, Yesus jatuh beberapa kali sebelum disalibkan karena cinta kepada manusia. Yesus sedang jatuh cinta. Mungkin kita juga pernah jatuh karena cinta. Jatuh di sini memiliki arti yang luas. Tetapi jatuh yang saya maksudkan di sini adalah pengalaman sakit karena cinta sebagaimana Yesus disalibkan karena cinta. Karena itu, bila kita jatuh cinta, siap-siap untuk sakit karena kita pasti akan jatuh. Di sinilah sisi pengorbanannya. Kita pun bisa memahami mengapa orang tidak menggunakan kalimat ini, "saya sedang mencintai", tetapi orang menggunakan,"saya sedang jatuh cinta". Dalam kalimat ini ada unsur pengorbanan.

Cinta yang sesungguhnya adalah berkorban. Jika kamu belum berkorban dalam hubungan, berarti kamu belum jatuh cinta. Jika kamu mau jatuh cinta, siap-siaplah untuk berkorban seperti merasa sakit karena kita berusaha menghilangkan ego, mementingkan orang yang dicintai, rela pulang pergi menjemput orang yang dicintai, rela kehujanan untuk bertemu dengan orang yang dicintai. Kamu mungkin merasa sakit saat itu. Justru inilah unsur pengorbanan dari frasa "jatuh cinta".

Lalu, apakah berkorban merupakan jalan tengah dalam mencintai? Setiap orang pasti paham tentang situasi dan konteks. Kapan kita berkorban dalam mencintai, semua orang tentu tahu. Ketika kita paham tentang situasi dan konteks, disitulah letak jalan tengahnya sebagaimana diungkapkan oleh Aristoteles.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun