Atau untuk kita yang memiliki dia yang menjadi teman cerita setiap hari. Sebutan tepatnya mungkin pujaan hati. Betapa semangatnya kita bila mendapatkan sesuatu darinya. Walaupun mungkin sekedar ucapan selamat tidur, diminta jaga kesehatan, jaga diri, mungkin juga jaga hati. Kita menjadi lebih semangat dalam bekerja. Hal ini berarti cinta itu memiliki kekuatan. Cinta mengantar orang pada suasana batin yang makin membara. Akibatnya, aura semangat itu tumbuh dan terwujud dalam energi yang ditumpahkan dalam kegiatan sehari-hari.
Namun, cinta tak hanya seindah itu. Cinta juga bisa melumpuhkan seseorang. Lumpuh dalam konteks ini tentunya bukan hanya lumpuh secara fisik. Hidup seseorang tidak lagi dikendalikan oleh rasio tetapi oleh rasa yang membara di dalam diri. Ketika kita sedang mencintai, mungkin kita lupa dengan pertimbangan rasional. Termasuk saya. Ya, begitulah. Rasio kadangkala tidak bekerja ketika mencintai.
Perhatikan saja, orang rela tidur larut malam hanya untuk bercakap-cakap dengan pacarnya via telepon. Walaupun hanya via suara, orang rela berkorban. Tak peduli, besoknya mungkin akan telat ke tempat kerja. Atau mungkin orang berkelahi karena ada orang ketiga dibalik sebuah hubungan. Bahkan ada yang baku bunuh. Ada pula ancaman untuk bunuh diri karena kekasihnya pergi tanpa ada kabar yang pasti. Cinta itu kejam, bukan? Tak salah lagi, cinta memiliki dua sisi, menghidupkan dan mematikan.
Tentang frasa "Jatuh Cinta"
Kembali ke kata "Jatuh Cinta". Dalam bahasa Inggris, ada kalimat "falling in love". Fallen berarti terjatuh. Secara harfiah bisa diartikan sebagai jatuh ke dalam cinta. Atau mungkin cinta membuat kita terjatuh. Jika dipahami seperti ini, bisa dimaklumi karena cinta itu bisa melumpuhkan karena orang jatuh sebagaimana tadi dijelaskan. Tetapi adakah sesuatu yang ingin disampaikan dari frasa "jatuh cinta"?
Jatuh itu mengindikasikan ada pengorbanan. Ketika kita terjatuh, ada sesuatu yang dikorbankan di sana. Entahlah. Mungkin harga diri, luka fisik, luka batin, keluarga, orang terdekat, atau teman. Begitulah jika jatuh cinta, siap-siap ada yang dikorbankan dari diri kita. Siap-siap disakiti atau mungkin dilukai. Namanya saja jatuh cinta. Cinta itu membuat kita jatuh. Dan justru di sinilah unsur pengorbanannya. Orang rela jatuh karena cinta sehingga muncul frasa "jatuh cinta". Orang pun menggunakan kalimat "saya sedang jatuh cinta", bukan "saya sedang mencintai." Ini tafsiran sederhana saya. Tentunya, bisa pula salah.
Dalam ajaran Kristen, Yesus jatuh beberapa kali sebelum disalibkan karena cinta kepada manusia. Yesus sedang jatuh cinta. Mungkin kita juga pernah jatuh karena cinta. Jatuh di sini memiliki arti yang luas. Tetapi jatuh yang saya maksudkan di sini adalah pengalaman sakit karena cinta sebagaimana Yesus disalibkan karena cinta. Karena itu, bila kita jatuh cinta, siap-siap untuk sakit karena kita pasti akan jatuh. Di sinilah sisi pengorbanannya. Kita pun bisa memahami mengapa orang tidak menggunakan kalimat ini, "saya sedang mencintai", tetapi orang menggunakan,"saya sedang jatuh cinta". Dalam kalimat ini ada unsur pengorbanan.
Cinta yang sesungguhnya adalah berkorban. Jika kamu belum berkorban dalam hubungan, berarti kamu belum jatuh cinta. Jika kamu mau jatuh cinta, siap-siaplah untuk berkorban seperti merasa sakit karena kita berusaha menghilangkan ego, mementingkan orang yang dicintai, rela pulang pergi menjemput orang yang dicintai, rela kehujanan untuk bertemu dengan orang yang dicintai. Kamu mungkin merasa sakit saat itu. Justru inilah unsur pengorbanan dari frasa "jatuh cinta".
Lalu, apakah berkorban merupakan jalan tengah dalam mencintai? Setiap orang pasti paham tentang situasi dan konteks. Kapan kita berkorban dalam mencintai, semua orang tentu tahu. Ketika kita paham tentang situasi dan konteks, disitulah letak jalan tengahnya sebagaimana diungkapkan oleh Aristoteles.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H