"sedih sih pasti, tapi ya biasa aja ehehh."
Perceraian adalah cerai hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan mereka menjalankan obligasi peran masing-masing, dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup berpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku Erna Karim dalam Ihromi, 2004 137. Menurut Agoes Dariyo 2008 160 perceraian divorce merupakan peristiwa yang sebenarnya tidak direncanakan dan dikehendaki kedua individu yang sama-sama terikat dalam perkawinan.
Menurut George Levinger dalam penelitiannya tahun 1966 (Ihromi, 2004: 153) menyusun 12 kategori yang menjadi alasan terjadinya perceraian yaitu:
- Karena pasangannya sering mengabaikan kewajiban terhadap rumah tangga dan anak, seperti jarang pulang ke rumah, tidak ada kepastian waktu berada di rumah, serta tidak adanya kedekatan emosional dengan anak dan pasangan.
- Adanya tuntutan yang dianggap terlalu berlebihan sehingga pasangannya sering menjadi tidak sabar, tidak ada toleransi, dan dirasakan terlalu menguasa.
Selain itu, Setiyanto menyebutkan ada beberapa hal yang dapat menyebabkan perceraian, yaitu (1) sudah tidak ada kecocokan, (2) adanya faktor orang ketiga, (3) sudah tidak adanya komunikasi.
emosional bagi pasangan yang bercerai tetapi juga anak-anak akan terkena dampaknya. Dampak perceraian terhadap anak lebih berat dibanding pada orang tua. Terkadang anak akan merasa terperangkap di tengah-tengah saat orang tua bercerai. Rasa marah, takut, cemas akan perpisahan, sedih dan malu merupakan reaksi-reaksi bagi kebanyakan anak dari dampak perceraian.
Perceraian yang terjadi pada suatu keluarga memberikan dampak yang mempengaruhi jiwa dan kondisi anak. Anak yang mengalami hambatan dalam pemenuhannya terkait rasa cinta dan memiliki orang tua harus menghadapi kenyataan bahwa orang tuanya telah bercerai. Anak mendapat gambaran buruk tentang kehidupan
berkeluarga. Dalam perasaan anak, perceraian adalah suatu kekurangan yang memalukan. Perceraian hampir selalu membuat anak bersedih, pemarah, dan lemah jiwanya. Anak merasa terasing diantara masyarakat yang kebanyakan terdiri atas keluarga yang bersatu padu. Perceraian yang berarti keterpisahan antara ibu, ayah, dan anak-anak, apapun penyebabnya, bisa memberi dampak buruk pada anak.
Anak korban perceraian akan merasa sedih, malu, minder karena orang tua yang dibanggakannya ternyata berakhir cerai. Sebagai pelampiasan perasaan-perasaan tersebut, anak melampiaskannya dengan:
- Mengurung diri di kamar, tidak bergaul dengan teman-teman karena merasa malu, sedih, dan minder.
- Keluyuran terus sebagai tanda protes terhadap orang tua. Berharap dengan cara ini orang tua akan rujuk kembali, tetapi dengan cara seperti itu malah akan menjerumuskan anak ke hal- hal yang negatif.
Paling tidak ada 4 faktor yang mempengaruhi resiko yang akan dipikul anak akibat korban perceraian yaitu bakat kepekaan anak terhadap pecahnya hubungan orang tuanya, latar belakang kehidupan keluarga sebelum perceraian, kondisi keluarga setelah perceraian serta kestabilan sebelah orang tua yang masih berada di rumah. Anak yang berbakat dan datang dari keluarga yang depresif, lebih mudah menjadi terganggu akibat perceraian orang tuanya, dibanding anak yang tidak sepeka itu. Latar belakang keluarga yang sangat intim dan hangat, akan dirasakan anak sebagai kehilangan yang sangat berarti dibandingkan latar belakang keluarga yang kurang akrab. Begitu juga sifat tabiat orang tua yang teguh dan tabah lebih kurang membuat anak menderita dibanding orang tua yang agak perasa Alex Sobur, 2003.
Umumnya sikap anak-anak terhadap perceraian adalah kaget, shock dan menghindari kenyataan bahwa perpecahan keluarga tak terjadi pada dirinya. Banyak yang merasa cemas dan takut, ada pula yang marah-marah, uring-uringan dan membangkang. Tetapi ada pula yang berusaha keras untuk menyatukan kembali kedua orang tuanya. Meskipun reaksi ini bervariasi umumnya. Robert Weiss, dalam bukunya Marital Separation dalam Musbikin, 2008 246 menyebutkan bahwa reaksi emosional anak sangatlah tergantung pada pemahaman anak tentang perkawinan orang tuanya, usia anak, temperamen anak serta sikap dan perilaku orang tua terhadap anak.
Menurut Dariyo 2008 169 anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya yang bercerai juga merasakan dampak negatif. Mereka mengalami kebingungan harus ikut siapa. Mereka tidak dapat melakukan proses identifikasi pada orang tua. Akibatnya, tidak ada contoh positif yang harus ditiru. Secara tidak langsung, mereka