Lalu, bagaimana menyikapinya?
Menurut pendapat saya, fenomena xenoglosofilia ini tidak dapat kita hindarkan atau hilangkan. Dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diikuti dengan meningkatnya kesempatan berinteraksi dan kerjasama dengan negara asing, menuntut kita sebagai masyarakat untuk bisa beradaptasi terhadap segala perubahan yang terjadi.
Walaupun begitu, fenomena ini tetap dapat kita minimalisir dengan berbagai cara. Adapun dengan membiasakan diri untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, ketika melakukan percakapan, mengemukakan opini dan pendapat di forum publik ataupun media sosial, selain itu dengan memperdalam pengetahuan kosakata bahasa Indonesia, dan yang paling penting adalah dengan menumbuhkan rasa cinta tanah air di dalam diri kita sendiri.
Seperti yang tertuang pada alinea ketiga sumpah pemuda, yang berbunyi :
"Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."
Menegaskan bahwa kita sebagai pemuda bangsa Indonesia, sudah seharusnya menjunjung tinggi bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia, yang merupakan identitas negara kita sendiri.
Menurut Kemenlu RI (Diplomasi, No.106 tahun X), setidaknya ada 52 negara asing yang membuka program studi bahasa Indonesia. Selain itu, Badan Bahasa Kemendikbud telah mengirimkan 793 pengajar Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (BIPA) ke 29 negara, dalam tiga tahun terakhir.
Lalu, sebagai penutur aslinya, masih enggankah kita untuk melestarikan bahasa negara kita sendiri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H