Di zaman sekarang, rasanya sudah tidak asing lagi ketika mendengar orang-orang di sekitar kita berbicara dengan mencampur antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Seperti contohnya frasa "which is, literally, basically, prefer, better"Â sudah sangat umum diselipkan di berbagai percakapan kasual. Fenomena ini di kalangan masyarakat dikenal dengan istilah 'Bahasa Jaksel'. Bahasa Jaksel sendiri awal mulanya ramai digunakan oleh para remaja di daerah Jakarta Selatan.
Dalam ilmu linguistik sendiri, fenomena ini disebut dengan Xenoglosofilia. Xenoglosofilia (xenoglossophilia) berasal dari bahasa Yunani: xeno yang berarti asing, glosso yang berarti bahasa, dan philia yang berarti cinta. Maka, xenoglosofilia adalah ketertarikan atau kecenderungan menggunakan bahasa asing secara tidak wajar dan berlebihan.
Sebenarnya tidak hanya dalam percakapan kasual di kalangan gen milenial dan gen Z saja, namun gejala xenoglosofilia ini juga ditemukan pada ruang publik, seperti contohnya dalam penamaan perumahan, hotel, restoran, ataupun menu.
Tentunya tidak jarang kita melihat sepanjang jalan banyak iklan perumahan dengan embel-embel "Residence" atau "Townhouse" di belakang namanya. Begitu pula dengan nama restoran juga menu makanan yang tidak lengkap jika tidak ada sedikit sentuhan "nginggris". Bahkan tidak hanya restoran elit saja, pedagang pinggir jalan pun ikut-ikutan, seperti menamai menu makanannya dengan "Cilok Crispy" atau "Seblak Spicy".
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Menurut Ivan Lanin, dalam bukunya yang berjudul "Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris?", salah satu penyebab keinginan untuk menggantikan suatu kata bahasa Indonesia dengan bahasa asing adalah karena bahasa asing dianggap lebih keren dan lebih intelek dibandingkan bahasa Indonesia.
Penyebab lainnya adalah ketidaktahuan akan padanan kata yang tepat untuk menggantikan istilah asing tersebut.
Berapa banyak dari kita yang bisa langsung menjawab dengan cepat ketika ditanya, apa padanan bahasa Indonesia dari kata "cache", "boulevard", atau "stylus"? Saya pribadi, bahkan perlu waktu untuk memikirkan apa padanan kata yang tepat. Yang akhirnya, mungkin saya putuskan untuk mencari tahu lewat google saja daripada berpikir lama.
Hal ini cukup membuktikan bahwa banyak dari kita yang sebenarnya masih awam dan kurang akan pengetahuan tentang kosakata bahasa kita sendiri. Bahkan faktanya, masih banyak istilah asing yang belum ada padanan kata bahasa Indonesia-nya.
Di era globalisasi ini, media sosial memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Namun selain dari banyaknya efek positif yang diberikan, media sosial juga menyumbang efek negatif yang cukup berdampak kepada masyarakat.Â
Kebiasaan campur kode (code-mixing) bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam percakapan di media sosial, ataupun konten yang termuat dalam media sosial, secara perlahan memberikan ancaman terhadap pergeseran bahasa Indonesia.
Lalu, bagaimana menyikapinya?
Menurut pendapat saya, fenomena xenoglosofilia ini tidak dapat kita hindarkan atau hilangkan. Dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diikuti dengan meningkatnya kesempatan berinteraksi dan kerjasama dengan negara asing, menuntut kita sebagai masyarakat untuk bisa beradaptasi terhadap segala perubahan yang terjadi.
Walaupun begitu, fenomena ini tetap dapat kita minimalisir dengan berbagai cara. Adapun dengan membiasakan diri untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, ketika melakukan percakapan, mengemukakan opini dan pendapat di forum publik ataupun media sosial, selain itu dengan memperdalam pengetahuan kosakata bahasa Indonesia, dan yang paling penting adalah dengan menumbuhkan rasa cinta tanah air di dalam diri kita sendiri.
Seperti yang tertuang pada alinea ketiga sumpah pemuda, yang berbunyi :
"Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."
Menegaskan bahwa kita sebagai pemuda bangsa Indonesia, sudah seharusnya menjunjung tinggi bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia, yang merupakan identitas negara kita sendiri.
Menurut Kemenlu RI (Diplomasi, No.106 tahun X), setidaknya ada 52 negara asing yang membuka program studi bahasa Indonesia. Selain itu, Badan Bahasa Kemendikbud telah mengirimkan 793 pengajar Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (BIPA) ke 29 negara, dalam tiga tahun terakhir.
Lalu, sebagai penutur aslinya, masih enggankah kita untuk melestarikan bahasa negara kita sendiri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H