Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tsunami dan Kita

25 Desember 2018   09:40 Diperbarui: 25 Desember 2018   10:40 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis cuma sanggup terdiam memandangi gambar ini (sumber: www.skynews.com)

Yang Terdahulu

Tsunami Palu-Donggala-Banten-Lampung melahirkan budaya baru, sejalan dengan populernya Indonesia selaku negara geger gempa dan tsunami. Ada kesehatan mental yang terancam di sana, ada trauma psikologik, kengerian, sebaran epidemik, patahan batu, retak lempengan, tanah terbalik, dan seterusnya. 

Exactly, segala peristiwa yang meronrong eksistensi manusia adalah rupa naturalistiknya bumi dengan segala perangkat fisiknya dan piranti penopangnya.  Bumi dengan segala 'isi perutmya' itu telah tersusun sistemik dan akan tak beraturan lagi. Itu siklus! Karena alam bergerak yang saling mempengaruhi satu sama lain. 

Budaya baru itu bernama mempelanakan kesalahan-kesalahan di berbagai lapisan masyarakat dan pemerintah. Dari sisi spiritual terorbit kekuatan supra natural dan bertuai insyaf bahwa semua ini tuah dari dosa-dosa dan segenap kekhilafan, kesombongan, angkuh, egois dan pelecehan kepada laut, gunung, sungai, tanah dan udara. Pada setiap pasca bencana alam selalu diikuti pandangan sosial, akan ada penanda-penanda diskriminatif dan ketidak-adialan sosial di sana. Bencana alam secara budaya telah melahirkan 'proyek persepsi' di pelbagai lapisan masyarakat.

Ada problematika serius tentang kesehatan mental kita (termasuk penulis) dan juga ada soal-soal sulit di zona kesehatan masyarakat kita. Misal, se-ember pasir kita letakkan di depan pagar kita, hujan datang, membawanya ke segala arah, massanya menggeser permukaan-permukaan tanah, menempel di kulit-kulit pohon, pohon terusik membelokkan dahan dan ranting, akarnya tak mau diam, ia pun bergerak perlahan, memilih arah yang aman, saatnya besar dan semakin kuat, ia menumbuk lantai-lantai rumah, ataukah jalan aspal yang sekalipun sulit ditembus, pastinya ada ruang di sana yang membuat tanah-tanah bawah mengalah dan membuat ruang kosong, selanjutnya jalan aspal bergelombang. 

Ribuan pengendara melintas dengan gaya lintasan di iklan Honda Jazz. Sisa menanti waktu, pengendara itu akan cedera oleh traffic accident. Lalu, orang asyik menanyakan penyebab kecelakaan itu, terjawab hanya pada permukaan yang dilihatnya yakni kondisi aspal dan jalan yang buruk. Mereka tak tahu di balik 'kronologi dan histori' bahwa gegara se-ember pasir sebagai awal malapetaka itu.

Budaya dan Kesehatan

Ilmu Budaya (Antropologi) memang ditugaskan untuk mencari "sebab dari sebab" sesungguhnya akan suatu peristiwa. Pada spesialisasi keilmuan antropologi kesehatan telah mengurai dengan alot, rumit tetapi simpel bahwa kita (manusia) sukses  membujuk alam ataukah memaksanya untuk melayani kita sehingga kita mobilisir batu-batu alam, gunung-gunung disedot urai menjadi semen dan kita daulat mereka menjadi penyanggah gedung-gedung megah dan mewah. 

Apa ini salah? Secara antropologi tiada yang salah di sini. Sebab alam ini memang diciptakan untuk manusia dengan segala budayanya. Yang belum kita lakukan adalah menormalkan gunung-gunung itu seperti sedia kala. Dari gunung menjulang, diperendah atas nama eksploirasi dan gunung yang berubah jadi pendek/rendah, memudahkan angin berbadai menembus rumah-rumah penduduk, perkebunan, persawahan, ternak dan berakhir dengan persoalan katahanan pangan, soal gizi, soal migrasi dan seterusnya.

Esensi lainnya, peristiwa bencana alam karena alam bergerak, manusia bergerak saling beradaptasi agar se-jalan namun kadang manusia dan alam 'saling menyerang', manusia dan alam adalah persahabatan abadi dan sebaliknya. Seperti alam (api) temanan saat masih kecil, saat api membesar, dialah membunuh manusia atas nama kebakaran disebabkan oleh macam-macam ulah manusia atau perilaku tak sengaja yang mengundang api mengamuk di pabrik-pabrik, pasar-pasar, gedung-gedung, hutan dan perumahan.

Perumpamaan

Di sebuah perjalanan, seorang kawan pengen singgah makan. Penulis amati kondisi fisik rumah makan itu, penulis ngobrol dengan teman soal menu rumah makan, tak layak konsumsi dikarenakan ruangan tak higienes, lalat-lalat sebagai agent penyakit cukup banyak terbang-hinggap.  Tapi budaya Indonesia kadang aneh, telah tahu itu mengancam alat percernaan (gastro intestinalis), kami tetap makan di sana itu, karena aksioma umum budaya Indonesia adalah: "Itu urusan perut".

 Bila saja nanti salah seorang di antara kami terserang diare, akan mengeluh dulu, tak sanggup mengeluh lagi, dicarikan obat diare. Obat diare juga tak mempan, siap-siap ke puskesmas atau sarana-sarana layanan kesehatan lainnya layaknya rumah sakit. Diare tak kunjung pulih, muncul penyakit baru disebabkan oleh infeksi nosokomial (infeksi yang diperoleh dari bakteri-bakteri penghuni rumah sakit sekitar kita, red). 

Dari soal 'sepele' di rumah makan tadi itu, berakhir di rumah sakit. Efek lanjutannya, kolega direpotkan, anak istri-suami dan keluarga pun direpotkan atas nama tanggungjawab. Berita sakit ini lalu di upload ke media sosial dengan tujuan 1) Sebagai informasi umum 2) Berharap doa. 3) Sebagai penyampaian bahwa yang bersangkutan terbebas dari fungsi sosial, tak dapat bekerja seperti sebelum-sebelumnya. 

Berikutnya, andai orang sakit itu, seorang suami atau ayah, kemudian wafat, maka problematika psiko-sosial menyertainya di mana anak-anaknya sudah kehilangan pemimpin keluarga, 'kehilangan' mahkota. Yang mengemuka adalah soal sedih ditinggal ayah, soal terseok-seoknya biaya pendidikan. 

Jika pendidikan gagal, berpotensi menciptakan manusia tanpa pekerjaan. Tanpa pekerjaan, berpotensi memicu pikiran-pikiran negatif, dari pikiran negatif beraksi di masyarakat melahikran huru-hara, konflik sosial dan keamanan negara terganggu. Bukankah NKRI itu kadang bertemu ancaman, diawali pikiran-pikiran negatif perseorangan menjadi pikiran negatif kolektif? 

Alam dan Manusia

Bencana alam itu alamiah, sedang efek bencana alam belum bisa disebut alamiah, reaksi manusia adalah perilaku buatan. Jika teori dunia, tersohor dengan dalilnya bahwa lingkungan mengubah kita, sedang ahli-ahli behavioristik kukuh dengan pendapatnya bahwa perilaku mengubah lingkungan. Keduanya sama benarnya, tapi tak absolut. 

Ada sisi lain yang ilmuan menempatkan di posisi terbelakang yakni GEN. Gregor Johan Mendel yang mempolerkan teori ini dari sudut riset ilmiah. Pewarisan sifat baik (mengayomi alam dan sesama manusia) dan sifat buruk (menyakiti alam dan menyadisi sesama manusia). Maka, tiap-tiap bencana alam, di sana hadir manusia baik dan manusia jahat, Itu genetika! Genetika ini, induk dari lahinya BUDAYA dan soal-soal sosiologi.

Alam ini super mewah untuk kita, melayani manusia saat kita di bangun atau di tidur kita. Pun, realitasnya manusia sangat berat merawat amanah dari Tuhan Yang Maha Pencipta, maka benarlah 'tuduhan' malaikat kepada kita ini: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah." SQ. Al-Baqorah: 30. 

Dan, manuisa wajib menepis 'tuduhan' malaikat itu kepada manusia dengan cara-cara: "Mematuhi hukum alam", itu bahasa induknya, perkara operasionalnya, pembaca sendiri sudah sangat mampu memberikan contoh-contohnya. 

Lalu, pembaca menggugat, memberikan contoh itu sangatlah mudahnya, mewujudkan contoh itulah yang menjadi bagian tersulit di bumi ini. Tak mengapa, minimal sudah ada ide memberikan contoh, yang tersisa bagaimana cara mengksekusinya.

Penyelaras Akhir

Artikel ini bukanlah sebuah perkuliahan, penulis hanyalah menyampaikan sudut pandang antropologi kesehatan. Praktisnya, alam juga 'memiliki' genetika baik, teknik menyikapi dan memperlakukan alamlah yang kerap menjadi pertanyaan filosofis: "Benarkah kita ini?". Dan, bolehlah diperdebatkan opini pribadiku ini sebab perdebatan memelihara kehidupan, tetapi perkelahianlah mengundang kematian hati dan terkuburnya tubuh. Selain ini, penulis titipkan: "Bencana alam buatan manusia, kadang dimulai dari soal se-ember pasir di sekitar rumah kita" Wallahu a'lam bissawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun