Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tsunami dan Kita

25 Desember 2018   09:40 Diperbarui: 25 Desember 2018   10:40 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis cuma sanggup terdiam memandangi gambar ini (sumber: www.skynews.com)

Di sebuah perjalanan, seorang kawan pengen singgah makan. Penulis amati kondisi fisik rumah makan itu, penulis ngobrol dengan teman soal menu rumah makan, tak layak konsumsi dikarenakan ruangan tak higienes, lalat-lalat sebagai agent penyakit cukup banyak terbang-hinggap.  Tapi budaya Indonesia kadang aneh, telah tahu itu mengancam alat percernaan (gastro intestinalis), kami tetap makan di sana itu, karena aksioma umum budaya Indonesia adalah: "Itu urusan perut".

 Bila saja nanti salah seorang di antara kami terserang diare, akan mengeluh dulu, tak sanggup mengeluh lagi, dicarikan obat diare. Obat diare juga tak mempan, siap-siap ke puskesmas atau sarana-sarana layanan kesehatan lainnya layaknya rumah sakit. Diare tak kunjung pulih, muncul penyakit baru disebabkan oleh infeksi nosokomial (infeksi yang diperoleh dari bakteri-bakteri penghuni rumah sakit sekitar kita, red). 

Dari soal 'sepele' di rumah makan tadi itu, berakhir di rumah sakit. Efek lanjutannya, kolega direpotkan, anak istri-suami dan keluarga pun direpotkan atas nama tanggungjawab. Berita sakit ini lalu di upload ke media sosial dengan tujuan 1) Sebagai informasi umum 2) Berharap doa. 3) Sebagai penyampaian bahwa yang bersangkutan terbebas dari fungsi sosial, tak dapat bekerja seperti sebelum-sebelumnya. 

Berikutnya, andai orang sakit itu, seorang suami atau ayah, kemudian wafat, maka problematika psiko-sosial menyertainya di mana anak-anaknya sudah kehilangan pemimpin keluarga, 'kehilangan' mahkota. Yang mengemuka adalah soal sedih ditinggal ayah, soal terseok-seoknya biaya pendidikan. 

Jika pendidikan gagal, berpotensi menciptakan manusia tanpa pekerjaan. Tanpa pekerjaan, berpotensi memicu pikiran-pikiran negatif, dari pikiran negatif beraksi di masyarakat melahikran huru-hara, konflik sosial dan keamanan negara terganggu. Bukankah NKRI itu kadang bertemu ancaman, diawali pikiran-pikiran negatif perseorangan menjadi pikiran negatif kolektif? 

Alam dan Manusia

Bencana alam itu alamiah, sedang efek bencana alam belum bisa disebut alamiah, reaksi manusia adalah perilaku buatan. Jika teori dunia, tersohor dengan dalilnya bahwa lingkungan mengubah kita, sedang ahli-ahli behavioristik kukuh dengan pendapatnya bahwa perilaku mengubah lingkungan. Keduanya sama benarnya, tapi tak absolut. 

Ada sisi lain yang ilmuan menempatkan di posisi terbelakang yakni GEN. Gregor Johan Mendel yang mempolerkan teori ini dari sudut riset ilmiah. Pewarisan sifat baik (mengayomi alam dan sesama manusia) dan sifat buruk (menyakiti alam dan menyadisi sesama manusia). Maka, tiap-tiap bencana alam, di sana hadir manusia baik dan manusia jahat, Itu genetika! Genetika ini, induk dari lahinya BUDAYA dan soal-soal sosiologi.

Alam ini super mewah untuk kita, melayani manusia saat kita di bangun atau di tidur kita. Pun, realitasnya manusia sangat berat merawat amanah dari Tuhan Yang Maha Pencipta, maka benarlah 'tuduhan' malaikat kepada kita ini: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah." SQ. Al-Baqorah: 30. 

Dan, manuisa wajib menepis 'tuduhan' malaikat itu kepada manusia dengan cara-cara: "Mematuhi hukum alam", itu bahasa induknya, perkara operasionalnya, pembaca sendiri sudah sangat mampu memberikan contoh-contohnya. 

Lalu, pembaca menggugat, memberikan contoh itu sangatlah mudahnya, mewujudkan contoh itulah yang menjadi bagian tersulit di bumi ini. Tak mengapa, minimal sudah ada ide memberikan contoh, yang tersisa bagaimana cara mengksekusinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun