Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Trik Klasik Memasarkan Buku

11 Maret 2018   20:35 Diperbarui: 14 Maret 2018   17:22 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Iwan Cindeng, Maret 2018

Ini buku sedang on fire di Kota Makassar, ratusan endorsement di media sosial. Pula ditenggerkan di kolom khusus "PODIUM" berjudul: "Buku dan Profesor Arsunan". Hasrullah Firadaus-lah pemilik kolom itu yang telah lama sekali ia menjagai kolom istimewa itu di Harian FAJAR, Makassar. Empat penekanan Hasrullah di sini: 1). Relasi sosok Soe Hok Gie dan Arsunan. 2). Moral Force gerakan mahasiswa era 80-an. 3). Pemberontakan cendekiawan 4). Kisah naik-turun gunung si penulis buku. Buku itu sendiri memilih judul: "Mengalir Melintasi Zaman". Malahpun, Arlin Adam (alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat-Universitas Hasanuddin, kini menjabat Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Pejuang Republik Indonesia) mengapresiasi judul buku ini: "Prof.Arsunan pandai memilih judul buku", sahutnya kepada penulis yang juga Kompasianer Makassar ini. Selekas juga penulis menyahut: "Saya kerap membaca buku dari judulnya, semuanya biasa dan umum.. Buku menjadi luar biasa adalah teknik menuliskannya di tiap-tiap lembar dan halaman". 

Ucapanku ini, mengadopsi perkataanku kepada tiap mahasiswa (i) Strata Satu (S-1) yang mengajukan judul penelitian kepadaku dan kulayani dengan bahasa seperti ini: "Judul penelitian itu seluruhnya biasa saja. Isi penelitianlah membuatnya luar biasa!". Buku ini, pun menjadi halaman OPINI di Harian Tribun Timur, Makassar: "Chunank, Gie dan Gerakan Mahasiswa" dibuah-penakan oleh Rustan Ambo Asse. Tutur Rustan di opininya: "Kini mozaik dinamika dan romantika kemahasiswaan itu telah diikat dan abadi, ditulis dalam buku dan dibaca oleh banyak orang serta bangkit sebagai kekuatan kebenaran, seolah-olah apa yang terjadi pada saat itu sejatinya adalah palu godam yang siap menghantam benak para akademisi, para dosen, dan eksistensi pergerakan mahasiswa masa kini. Bahwa kampus hakikatnya bukan hanya tempat melahirkan lulusan sarjana yang ber-IPK tinggi, tapi kampus adalah miniatur demokrasi. Tempat membentuk karakter yang kuat sebagai mahasiswa".

Sumber: Harian FAJAR, Makassar
Sumber: Harian FAJAR, Makassar
Buku ini 'berasa dekat' karena dieditori oleh seorang Kompasianer bernama Anis Kurniawan dan kejutan pula bagi penulis karena di ratusan komentar di buku itu, Prof. Arsunan (Chunank) mengembeli namaku dengan sebutan Kompasianer Aktif seperti ini:

"Watak ketimurannya tak lekang oleh segala cuaca. Ini tokoh agak 'rumit'. Pandai mengelola ritme pergaulan di pelbagai lini" Muhammad Arsyad Rahman, Dosen Unhas/Kompasianer aktif

Lalu pembaca barangkali saja menaruh tanya: "Lantas mana trik klasik seperti judul tertera di atas? Maka, penulis menjawabnya dengan pandangan terselubung terhadap sosok penulis buku itu. Perkara-perkara memasarkan buku adalah perkara umum, seumpama mengiklankan di media sosial, whatsapp, twitter dan se-species-nya ataukah cara-cara lain yang sifatnya -mulai dri bujukan sampai pemaksaan- dan semacamnya. Penulis dan barangkali juga Anda kerap 'dikagetkan' dengan teknik-teknik seperti ini. 

Namun, ada sudut lain yang penulis temukan pada Prof.Dr.Andi Arsunan Arsin bahwa ia sukses melakukan investasi emosional kepada khalayak baik kolega, mahasiswa, keluarga, teman sejawat, pembesar-non pembesar. Dia ini humanis! Penulis sangat meyakini ini faktorial yang teramat signifikan terhadap 'Best Seller' Mengalir Melintasi Zaman.

Sumber: Tribun Timur, Makassar
Sumber: Tribun Timur, Makassar
Buku itu, penulis sangat sempatkan untuk meresensi-mengirimnya di Harian FAJAR dan 'alhamdulillah' ditolak. Berikut resensiku:

Tualang A.Arsunan Arsin, di sini, berkisah era yang berlalu. Ini literasi magis! Peletakan gaya bahasa, tak berjarak antara penulis dan pembaca. Prosesor bahasa di buku ini amatlah bersahaja. Tak rumit! Kemasan kalimat putra Andi Arsin-Sumarti Hasanuddin ini, tiada perlu memaksa kening pembaca dalam kerutan. Tak perlu luangan waktu khusus untuk menyiangi buku ini, cukup duduk relaks dan pembaca akan memapasi aksi A.Arsunan Arsin dalam mogok makan, tak mogok minum. Ini kelucuan dalam serius dan keseriusan dalam lucu (Hal.81).

Hadir ragam gerakan ide, langgam dinamika dus tanggungjawab atas deretan tindakan A.Arsunan Arsin, di masa nan lalu. Pulalah, terkuak kisah lemparan liar sepatu Hasan Walinono ke sekauman mahasiswa dalam prosesi posma (opspek zaman old). Sang rektor dalam murka! Ada parodi di sini, musabab sepatu rektor disetengahtiangkan, sepatu itu raib tak berimba. Sayang, tak seorangpun memuseumkan sepatu berkandung sejarah di era 'G-80-an' itu.

Buku bergenre autobiografi ini, dihantar sekaligus bikin bangga Rektor Universitas Hasanuddin: "Berpikir Merawat Impian", tulis Prof.Dwia Aries Tina Pulubuhu, di buku itu selaku apresiasi kepada penulis. Pada ruas-ruas buku ini, seolahlah penulisnya melontar pesan; setiap insan telah siaga berarung samudera hidup. Yang tertinggal ialah mau arungi sepenuh atau setengah hati!

Di halaman 70, pembaca akanlah tertegun, kala A.Arsunan terima aksara sarkas dari petinggi dekanat:"Arsunan itu brengsek tapi baik orangnya...". Aturan alam dan teori kesan -yang membekas cumalah kata brengsek- bukan kata yang lain. Manusiawilah jikalau Alwy Rahman, pula meringkus ucapan itu di bait-bait indah di prolog buku ini. Ini salah satu peristiwa majas ironik di "Mengalir Melintasi Zaman". Mestinya Chunank --sapaan akrabnya- sudah game over and down di tempat itu. Peresensi ber-alhamdulillah karena ahli epidemiologi itu, tertemukan di sana, malah ada puisi telah sedang bersalin: "Meilan". Ini teknik lain A.Arsunan dalam berdemonstrasi. Terciduklah multi-talenta, ia bisa menjajal organisasi, sanggup belajar serupa mahasiswa lainnya, juga dapat bersentuhan dengan cinta-asmara bak pemuda lainnya. Katakanlah itu Dilan 1980! Soe Hok Gie, pun begitu. Tiba sisi-sisi puitika pada dua tokoh mahasiswa berlainan jaman itu. Chunank memang suka Gie, jua Rendra.

Bulan ini, Pebruari. Bulan lahirnya Himpunan Mahasiswa Islam (Lafran Pane). A.Arsunan begitu dalam bergaul di zona Hijau-Hitam (HMI), amanah 'paper lepas' di saban Basic Training HMI, ditanganinya di belantara kantuk peserta 'bastra'. Ia tetap saja nyalang mata, bisa jadi peserta pengkaderan dasar seperti Taruna Ikrar, Arlin Adam ataupun lainnya dalam mata pasif, saat itu. Namun, A.Arsunan tuntaskan tugasnya, berharap menjadi cikal investasi pengetahuan, bakal calon mentalitas dan bekal nalar kepada generasi berikutnya. Impiannya terwujud, pungkas Prof.Dwia di semula resensi ini. Generasi-generasi emas itu, membezuk A.Arsunan saat Program Pendidikan Magister di UNAIR-Surabaya. Pada perjumpaan itu, ada pesan heroik dari A.Arsunan ke Taruna Ikrar: "Kalau mau bertarung sebaiknya di ibu kota. Saya kira sudah cukup bekalmu untuk bertarung"  (Hal.104-105)

Suami dari A.Aisyah S.Haddade, ayah dari A.Agum Aripratama dan A.Anastasya Ariska ini, A.Arsunan tak digamit malu dalam pengakuan keterlambatan penyelesaian studi di Fakultas Kedokteran Gigi, sisi lain ia memiliki potensi Ilmu Berhitung semasa SMA di Soppeng, ini paradoksal baginya plus tertengger jiwa besar di sana. Tersirat lugu bahwa inipun bagian dari Mengalir Melintasi Zaman bagai aliran Sungai Walannae di kampungnya, di sana. Bolehlah jadi, aliran-aliran semesta alam membuat A.Arsunan Arsin menderaskan arus-arus puisinya di koran bernuansa percintaan ataupun sesembahan artikel berhalaun kesehatan masyarakat.

Siapalah sangka jikalau di Sungai Walannae ditemukan fosil gajah purba (Elephas celebensis), ikan pari raksasa, buaya purba (Crocodylus sp), babi purba (Celebochoerus heekerani) hingga artefak batu. Fosil-fosil fauna vertebrata ini ditemukan pertama kali tahun 1947 oleh Hendrik Robert van Heekeren (arkeolog Belanda) di Kampung Beru jalan poros Cabenge-Pampanua, Soppeng. Buku itu pun, mencuatkan referensi ini!

Buku ini mendatangkan puluhan komentar, dipermula Ketua Mahkamah Konstitusi RI (2013-2015) Hamdan Zoelva hingga Baharuddin Burhan (Ketua Umum Korpala Unhas 1999-2000). Pertanda buku ini potensi dijadikan bahan bacaan untuk meresponi kesan batin, tangkapan pikiran kepada Prof.A.Arsunan Arsin bahwa serupa itulah sosok original dalam sikap dan tindakan-tindakannya di lebih dan kurangnya. Setidaknya, ia telah melembagakan budaya tulis-menulis untuk dibagikan ke khalayak tentang dirinya, ilmunya, mimpi-mimpinya.

Sekalipun itu, bunga Edelweis yang termaktub di buku ini, rupa sisi kehidupan sosok A.Arsunan yang telah mengenal cinta, berikut patah hatinya. Terhadap orang kebanyakan, berat menuliskan ini, nyawa ditarung di ketinggian puncak gunung tak terukur. Ia memetik bunga itu, atas pesan seseorang. Bersusah-susah menggapai bunga itu, berbalas layu tanpa penerima. Terhempas: "Karena ia bukan kekasihku", lirih Chunank.

Segala itulah tertuang dalam buku Mengalir Melintasi Zaman, ditulis oleh anak petani desa, anak guru bersahaja bernama Prof. A.Arsunan Arsin.

Kita flash-back ke ramuan klasik dalam memasarkan buku bahwa 'Sosok Penulis dan Buku" ibarat kawat elektroda dan kawat massa (maaf istilah welding/las listrik), takkan ada percikan api untuk menyambung dua biji besi tanpa hubungan erat kedua benda ini. Pandangan generiknya bahwa sebelum kita membaca buku populer atau kontemporer ataukah otobiografi maka panggilan psikologiknya ialah siapa penulisnya, serupa apa sosoknya dan dapatkan dijadikan role-model? 

Kubukan memastikan jikalau sosok menjadi determinan suksesnya sebuah buku tetapi kuhendak memestikan bahwa kebaikan-kebaikan hati penulis buku, pentinglah itu untuk merawat relasi-relasi emosional. Hingga kunamainlah ini dengan 'ramuan klasik". Bukankah perangai-perangai orangtua kita dulu adalah himpunan orang-orang yang lemah lembut, santun dalam tuturan, menghiasi diri dengan karakter-karakter mengagumkan? 

Di era kini, penulis sangat tak sanggup mendefiniskan kembali apa itu etika? Apa itu humanistik? Yang pasti, 'kita-kita' kelewat abai akan lajur-lajur pendidikan non-formal (pendidikan keluarga) yang ketat terhadap segala apa yang berkorelasi dengan martabat dan self-esteem. Yang abai-abai itu, termasuklah SAYA!

Pastinya lagi, sosok penulis buku: Mengalir Melintasi Zaman adalah sosok yang amatlah piawai 'meng-adik-kan' yang adik dan 'meng-kakak-kan" yang kakak.

-------------------
Makassar, 11 Maret 2018
@m_armand
Power of Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun