Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Trik Klasik Memasarkan Buku

11 Maret 2018   20:35 Diperbarui: 14 Maret 2018   17:22 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tribun Timur, Makassar

Bulan ini, Pebruari. Bulan lahirnya Himpunan Mahasiswa Islam (Lafran Pane). A.Arsunan begitu dalam bergaul di zona Hijau-Hitam (HMI), amanah 'paper lepas' di saban Basic Training HMI, ditanganinya di belantara kantuk peserta 'bastra'. Ia tetap saja nyalang mata, bisa jadi peserta pengkaderan dasar seperti Taruna Ikrar, Arlin Adam ataupun lainnya dalam mata pasif, saat itu. Namun, A.Arsunan tuntaskan tugasnya, berharap menjadi cikal investasi pengetahuan, bakal calon mentalitas dan bekal nalar kepada generasi berikutnya. Impiannya terwujud, pungkas Prof.Dwia di semula resensi ini. Generasi-generasi emas itu, membezuk A.Arsunan saat Program Pendidikan Magister di UNAIR-Surabaya. Pada perjumpaan itu, ada pesan heroik dari A.Arsunan ke Taruna Ikrar: "Kalau mau bertarung sebaiknya di ibu kota. Saya kira sudah cukup bekalmu untuk bertarung"  (Hal.104-105)

Suami dari A.Aisyah S.Haddade, ayah dari A.Agum Aripratama dan A.Anastasya Ariska ini, A.Arsunan tak digamit malu dalam pengakuan keterlambatan penyelesaian studi di Fakultas Kedokteran Gigi, sisi lain ia memiliki potensi Ilmu Berhitung semasa SMA di Soppeng, ini paradoksal baginya plus tertengger jiwa besar di sana. Tersirat lugu bahwa inipun bagian dari Mengalir Melintasi Zaman bagai aliran Sungai Walannae di kampungnya, di sana. Bolehlah jadi, aliran-aliran semesta alam membuat A.Arsunan Arsin menderaskan arus-arus puisinya di koran bernuansa percintaan ataupun sesembahan artikel berhalaun kesehatan masyarakat.

Siapalah sangka jikalau di Sungai Walannae ditemukan fosil gajah purba (Elephas celebensis), ikan pari raksasa, buaya purba (Crocodylus sp), babi purba (Celebochoerus heekerani) hingga artefak batu. Fosil-fosil fauna vertebrata ini ditemukan pertama kali tahun 1947 oleh Hendrik Robert van Heekeren (arkeolog Belanda) di Kampung Beru jalan poros Cabenge-Pampanua, Soppeng. Buku itu pun, mencuatkan referensi ini!

Buku ini mendatangkan puluhan komentar, dipermula Ketua Mahkamah Konstitusi RI (2013-2015) Hamdan Zoelva hingga Baharuddin Burhan (Ketua Umum Korpala Unhas 1999-2000). Pertanda buku ini potensi dijadikan bahan bacaan untuk meresponi kesan batin, tangkapan pikiran kepada Prof.A.Arsunan Arsin bahwa serupa itulah sosok original dalam sikap dan tindakan-tindakannya di lebih dan kurangnya. Setidaknya, ia telah melembagakan budaya tulis-menulis untuk dibagikan ke khalayak tentang dirinya, ilmunya, mimpi-mimpinya.

Sekalipun itu, bunga Edelweis yang termaktub di buku ini, rupa sisi kehidupan sosok A.Arsunan yang telah mengenal cinta, berikut patah hatinya. Terhadap orang kebanyakan, berat menuliskan ini, nyawa ditarung di ketinggian puncak gunung tak terukur. Ia memetik bunga itu, atas pesan seseorang. Bersusah-susah menggapai bunga itu, berbalas layu tanpa penerima. Terhempas: "Karena ia bukan kekasihku", lirih Chunank.

Segala itulah tertuang dalam buku Mengalir Melintasi Zaman, ditulis oleh anak petani desa, anak guru bersahaja bernama Prof. A.Arsunan Arsin.

Kita flash-back ke ramuan klasik dalam memasarkan buku bahwa 'Sosok Penulis dan Buku" ibarat kawat elektroda dan kawat massa (maaf istilah welding/las listrik), takkan ada percikan api untuk menyambung dua biji besi tanpa hubungan erat kedua benda ini. Pandangan generiknya bahwa sebelum kita membaca buku populer atau kontemporer ataukah otobiografi maka panggilan psikologiknya ialah siapa penulisnya, serupa apa sosoknya dan dapatkan dijadikan role-model? 

Kubukan memastikan jikalau sosok menjadi determinan suksesnya sebuah buku tetapi kuhendak memestikan bahwa kebaikan-kebaikan hati penulis buku, pentinglah itu untuk merawat relasi-relasi emosional. Hingga kunamainlah ini dengan 'ramuan klasik". Bukankah perangai-perangai orangtua kita dulu adalah himpunan orang-orang yang lemah lembut, santun dalam tuturan, menghiasi diri dengan karakter-karakter mengagumkan? 

Di era kini, penulis sangat tak sanggup mendefiniskan kembali apa itu etika? Apa itu humanistik? Yang pasti, 'kita-kita' kelewat abai akan lajur-lajur pendidikan non-formal (pendidikan keluarga) yang ketat terhadap segala apa yang berkorelasi dengan martabat dan self-esteem. Yang abai-abai itu, termasuklah SAYA!

Pastinya lagi, sosok penulis buku: Mengalir Melintasi Zaman adalah sosok yang amatlah piawai 'meng-adik-kan' yang adik dan 'meng-kakak-kan" yang kakak.

-------------------
Makassar, 11 Maret 2018
@m_armand
Power of Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun