Penulis tertarik menulis soal kehadiran CSR (Corporate Social Responsibility) di PT Freeport Indonesia (PTFI), terkhusus kepada problematika kesehatan warga (public health) di sekitar area pertambangan PTFI di Papua-Indonesia.
Di setiap industri besar-menengah-kecil selalu menimbulkan problematika kesehatan masyarakat baik bersifat biomedis, genetik, kimiawi, psikologik maupun sosiologis. Salah satu industri besar itu adalah PTFI yang didirikan pada tahun 1967, dan penulis tertarik mengulas dari sisi public health yang di dalamnya terdapat kajian epidemiologi, occupational health, environmental health, dan juga soal perilaku masyarakat serta mutu layanan kesehatan.
Pertimbangan dasar sehingga penulis membuat artikel ini, bahwa kesehatan adalah hak dasar setiap manusia, hak pokok setiap warga dan digolongkan hak asasi setiap orang, termasuk masyarakat di Papua yang berdomisili di radius lokasi pertambangan. Setelah menelusuri beragam informasi via internet, termasuk website PTFI, penulis tercengang membaca data kesehatan tahun 2014 di PTFI. Terlihat 141.628 (seratus empat puluh satu ribu enam ratus dua puluh delapan) kunjungan pasien ke rumah sakit dan 65.000 (enam puluh lima ribu) kunjungan ke klinik umum dan spesialis.
Ini sebuah ironi bahwa betapa rawannya ancaman kesakitan (morbiditas) di wilayah pertambangan itu, jika angka kunjungan pasien ini terus meningkat dari tahun ke tahun, maka itu suatu pertanda bahwa kesehatan dasar di wilayah pertambangan berada posisi high-risk. Sisi lain, jika fasilitas layanan kesehatan tidak memadai, maka peluang terjadinya morbiditas dan mortalitas akan lebih meningkat lagi.
Secara uiversal, penulis menyetujui atas kehadiran CSR bidang kesehatan di PTFI, sekaligus penulis masih mencemaskan kondisi kesehatan fisik dan psikis warga Papua yang berada di dekat lokasi pertambangan.
Apa yang telah dilakukan oleh PTFI sesungguhnya sudah baik, namun selaku akademisi yang hanya pintar berteori bahwa PTFI masih didominasi oleh paradigma klasik dan belum beranjak ke new paradigm bidang kesehatan. Penulis terkesima membaca tentang kegiatan CSR PTFI yang menggalakkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), ini adalah konsep kementerian kesehatan tahun 1999 di zaman Presiden B. J. Habibie. Maka wajarlah jika CSR PTFI masih latah melakukan program penyuluhan tentang malaria, Tb dan HIV/AIDS.
Penulis beberapa kali memberi kuliah di Papua, penulis mengamati bahwa masyarakat Papua sangat potensial meningkatkan status dan derajat kesehatan mereka (konsep Winslow dan Terry) karena karakter masyarakat Papua dapat menerima perubahan yang disesuaikan dengan kultur masyarakat Papua. CSR PTFI mesti memandang karakter ini sebagai modal peningkatan kesehatan di Papua.
PTFI memiliki lembaga khusus penanggulangan malaria, penulis meyakini bahwa lembaga ini sifatnya insidentil, dan kelak lembaga ini akan dihapus jikalau konsep preventif digali dari potensi masyarakat setempat. CSR PTFI akan kewalahan bila masih berorientasi kepada konsep reaktif-rehabilitatif. Begitupun soal endemik virus HIV-AIDS, semestinya PTFI menjadikan masyarakat sebagi subyek desiminasi informasi tentang HIV-AIDS, bukan lagi PTFI dengan team work-nya melakukan proses pendampingan kepada masyarakat.
Penulis baru mengetahui jika CSR PTFI dimulai pada tahun 2008, mendekati 10 (sepuluh) tahun lamanya CSR ini menjalankan fungsi sosialnya kepada masyarakat. Saatnya, CSR PTFI memberikan tawaran kepada masyarakat untuk diberi peluang dan wewenang memelihara kesehatannya sendiri dan tetap diamati (monitor) oleh CSR PTFI.
Langkah awal yang mesti dilakukan CSR PTFI bahwa kesehatan masyarakat adalah milik murni masyarakat, bukan lembaga CSR PTFI. PTFI hanyalah menjembatani hak-hak dasar tentang kesehatan masyarakat. Pengkajian penyakit-penyakit yang rentan terjadi di wilayah pertambangan memanglah masih wilayah kementerian kesehatan, juga koorporasi lintas sektoral seperti badan kependudukan, Non Government Organization (NGO) serta lembaga lainnya yang terkait.