Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Anak Itu Teteskan Airmataku

30 Desember 2015   14:00 Diperbarui: 30 Desember 2015   14:19 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak itu tak pakai seragam sekolah, mungkin sedang libur dan menemui ayahnya di tempat kerja. Firasatku, anak itu pasti anak sekolahan, hingga kutak bertanya apakah Fajar sekolah atau tidak! Obrolanku dengan anak itu, mengalir begitu saja, tak semacet Kota Metropolitan Makassar-ku. Ia kadang cekikikan, kala kucanda padanya, dan menyuruhnya meniup lampu merah! Jadilah aku dan Fajar, seperti ayah dan anak.

Siang itu, matahari di Makassar terasa dekat sekali ke tubuhku, terik memang! Sekalipun musimnya hujan. Sekali-sekali matahari juga menunjukkan kelasnya, menembusi jaketku sampai ke sum-sumku. Di jalan raya yang padat merayap, selalu kuingat pesan istriku: "Jangan ngoyo papa!". Setialah aku membalas senyuman, saat membaca pesannya itu di kaca telepon genggam. Itu sisi lain dari perempuan bersuamikan pengemudi.

***

[caption caption="Ilustrasi: artikelkehidupan88.blogspot.com"]

[/caption]

Om, itu rumahku di depan, pas yang ada mobil putih
Iya Nak!

Kuhentikan motor pelan sekali, anak itu turun dengan gesitnya, menyerahkan helem, dan juga ongkos jasa perjalanan, kami bersamaan mengucapkan terima kasih. Anak itupun berlalu, cepat sekali. Lalu, kuhidupkan kembali mesin motorku. Segera beranjak.

Om...Tunggu!

Kumenoleh asal suara yang sangat kukenal itu, nampaknya anak itu berlari menujuku, di tangannya ada sebotol pulpy orange. Ia luruskan tangan kanannya dan menyerahkan minuman itu padaku, sembari tersenyum, ia berucap:

Om pasti haus, ini untuk Om
Subhanallah!

Kuusap ubun-ubun anak itu sambil hatiku berdoa padanya, ada airmata tertunda turunnya, di kantong bola mataku. Aku lekas-lekas pamit, dan melihat kaca spion, anak itu masih berdiri di sana, di depan rumahnya. Kutahu, ia masih memandangku sampai aku benar-benar hilang dari pandangannya.

Lalu, aku berhenti di sebuah warung kosong, ada kursi di sana. Airmatakupun, menetes sudah. Haru akan kepekaan anak itu, membayangkan bagaimana ikhlas ayah ibunya, guru-gurunya mendidik anak itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun