Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lilin Kecil Penderita AIDS

1 Januari 2016   18:11 Diperbarui: 2 Januari 2016   00:11 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Di Sebuah Tayangan TVRI Sulsel (Foto: Arlin Adam)"][/caption]

Terima kasih kepada Unika Atma Jaya dan Kompasiana atas penyelenggaraan "Blog Competition Frans Seda Award 2015" dengan tema: Sosok Muda Inspiratif di Bidang Pendidikan dan Kemanusiaan. Periode lomba: 21 Desember 2015-31 Januari 2015.

Bila Anda bertanya soal otomotif kepadanya, maka ia pasti menyerah. Tetapi bila Anda mengajukan sepotong pertanyaan saja soal HIV/AIDS dan soal dunia pendidikan, maka ia akan menguraikannya sampai Anda mengerutkan kening. Dialah Arlin Adam. Berikut, penulis tuliskan feature tentang sosok seorang yang peduli kemanusiaan dan pendidikan. Pria ini, kelahiran 3 Juli 1973, telah melakukan proses yang panjang untuk kemanusiaan dan pendidikan. Arlin Adam, nama lelaki Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan itu. Arlin, lulus tahun 1996 di Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat-Universitas Hasanuddin, memilih total bekerja di Non Govermental Organization (NGO). Dia bukanlah Pegawai Negeri Sipil walau sempat diterima di Kementerian Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara, ia menolaknya dengan halus, alasannya ia ingin mengajar di perguruan tinggi dan hendak mengabdi di bidang narkoba, HIV/AIDS dan lembaga sosial lainnya.

Tahun 1997, Arlin Adam tercatat sebagai dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIK) Tamalatea, Makassar. Pada tahun yang sama ia mendirikan Yayasan Mitra Husada (YMH), Makassar. Dalam kurun waktu itu, Arlin turut andil dalam penanggulangan HIV/AIDS di Sulawesi Selatan. Menurut Tim Asistensi KPAP Sulsel ini: "HIV soal kemanusiaan, ini fakta lapangan, tiada alasan untuk melihat penderita meninggal dunia karena tiadanya intervensi!". Ini bukan sebuah feature yang dapat dikategorikan bombastis, ataukah sensasional. Namun, Arlin sudah keliling Indonesia untuk urusan HIV/AIDS. Ada satu peristiwa yang sempat membuat Arlin Adam menitikkan airmata, disebabkan perlakuan terhadap penderita HIV/AIDS masih menjadi stigma buruk. Kala itu, seorang penderita HIV/AIDS berjenis kelamin perempuan, meninggal dunia. Jenazahnya ditolak di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Alasan petugas bandara sudah jelas bahwa mayat itu bukan mayat biasa. Ia penderita HIV/AIDS bisa menularkan virusnya kepada orang lain atau pelanggan pesawat.

Arlin, di sore itu, berdialog dengan seorang petugas bandara yang berwewenang bahwa soal penularan virus HIV/AIDS tak semudah itu. Masyarakat kita sudah terlanjur memahami secara kurang tepat akan penularan HIV/AIDS. Esensinya, virus HIV/AIDS tak seperti virus influenza atau Tb yang mudah terbang begitu saja. Virus HIV itu vakum, tak bergerak bila tak ada hubungan intim atau jarum suntik atau dari seorang ibu kepada bayinya/anaknya. Cukup alot Arlin dalam meyakinkan petugas bandara, di tahun 2003 silam. Singkat kisah, jasad almarhumah diterbangkan ke Kendari, dan peti jenazah dibuatkan jalur khusus dan sekat-sekat panjang hingga tak terlihat oleh pelanggan lain yang sudah berada di perut pesawat. Barangkali memang begitu prosedur penerbangan. Saat lain, Arlin berkata bahwa masyarakat kita masih diskriminatif, atau bisa jadi karena soal HIV/AIDS adalah soal penyakit perilaku, perilaku yang anti sosial, tutur Arlin dengan moderatnya.

Pria yang telah dikarunia dua putri dan satu putra itu, sukses memadukan antara kegiatan kemanusiaannya di bidang HIV/AIDS dengan karier akademiknya. Menjadi penggiat problematika sosial-soal kesehatan tentang HIV, Arlin Adam pun membingkai disertasi doktoralnya dengan judul: "Konstruksi Sosial Pengidap HIVdan AIDS", dituntaskannya secara elegan di hadapan bantahan-bantahan penguji dalam ujian promosi doktor Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Makassar, 2013.

[caption caption="Dan Arlin Adam direkrut sebagai dosen dan co promotor di PPs UNM"]

[/caption]

Arlin Adam tak ragu, turun ke lapangan, ke kantong-kantong high-risk akan penularan HIV. Upaya pendampingan kondom 100 persen, dilakukan di area prostitusi di Makassar, yakni di Jalan Nusantara. Area ini sangat rawan, akibat berhadapan langsung dengan pelabuhan laut Sokerano-Hatta. Menurut pengamatan Arlin Adam, tak sedikit penumpang yang transit mencari hiburan di Jalan Nusantara, mereka wajib dicegah agar tak melakukan hubungan berganti pasangan, sedang pemberian kondom adalah jalan terakhir. Demikian pula Daeng-Daeng Becak yang kadang memaksakan diri untuk 'jajan'. Arlin Adam tak henti-hentinya memberikan layanan preventif kepada kelas-kelas menengah ke bawah ini dan juga para kaum jetset yang justru lebih sulit mendeteksi pergerakannya.

Dialah lilin kecil untuk menerangi penderita AIDS. Dedikasi menyeluruh dari seorang Arlin Adam, membuatnya wajib banyak-banyak berurusan dengan menteri terkait, gubernur, walikota/bupati di tanah air. Menjadi narasumber nasional dan regional, didasarkan pada kapasitas Arlin Adam yang ditandai dengan banyaknya bersentuhan dengan penderita HIV/AIDS bahkan menyasar kepada pendekatan tokoh-tokoh agama, petinggi-petinggi sekolah menengah, para manajer buruh-buruh, tukang-tukang bangunan, pengelola diskotik, komunitas-komunitas remaja, sampai mucikari di kompleks prostitusi. Visi Arlin Adam, manusia Indonesia hidup sehat tanpa HIV/AIDS atau ODHA tetap sehat walau telah terinfeksi HIV dan atau positif AIDS. Hingga suatu waktu, Arlin Adam berkata bahwa soal HIV/AIDS jangan terlalu dibesar-besarkan dan jangan terlalu ditakuti.

[caption caption="HIV/AIDS, Jangan Dibesar-besarkan"]

[/caption]

Bahasa generik bagi lelaki penerima 'Peniti Emas' dari Gubernur Sulawesi Selatan itu, dua tahun lalu, menyebutkan penderita dan kita, sama-sama manusia, aktifitas juga sama normalnya. Hanya saja, penderita HIV/AIVS mutlak mendapat perlakuan, pengobatan yang terus menerus agar mereka bertahan hidup dan tetap produktif. Pengobatan bagi mereka seperti tongkat untuk dipakai berjalan. Dengan kepekaannya ini, membuat JICA-Japan berpikir untuk menjadikannya sebagai konsultan PRIMA-Kesehatan di Sulawesi Selatan, dan Aus-AID mengontraknya sebai Team Expert di lima propinsi di Indonesia. Tiada mudah bagi seseorang untuk dikontrak oleh lembaga internasional sekelas Aus-AID dan JICA Japan. Dan, menjadi salah satu alasan, mengapa penulis ngotot memaparkan sosoknya di Kompasiana ini sebagai sosok muda inspiratif di Bidang Pendidikan dan Kemanusiaan.

Kiprah di dunia pendidikan

Terlahir dari keluarga sederhana, ayahnya bernama Adam Suaib, ibunya bernama Hj.Omming. Masa kecil Arlin Adam, dituntaskan di Jl.Onta no 28 Pangkajene-Sidenreng Rappang. Suata waktu, Arlin bercerita bahwa ia sering memikul karung-karung yang berisi kotoran ayam, dia dibayar oleh pengusaha lokal untuk keperluan pupuk kandang. Arlin lakukan ini untuk ongkos sekolahnya di SMP dan SMA di Sidrap. Ia menceritakan ini, bukan dalam ekspresi sedih, malah ia senang akan masa lalunya yang bekerja keras, termasuk membantu ayahnya di sawah sepulang sekolah. Berdasar pada pengalaman itu, Arlin berprinsip bahwa hanya ada dua yang bisa mengubah nasib manusia: 1) Pendidikan dan 2) Kerja keras.

Begitulah keteguhan Arlin Adam, sampai diterima sebagai mahasiswa di Universitas Hasanuddin, tahun 1991. Di Unhas, selama menjadi mahasiswa, Arlin aktif di beberapa organisasi mahasiswa, intra dan ekstra. Ia pernah menjabat Ketua Senat Mahasiswa (BEM) di fakultasnya. Bakat berorganisasinya, membuatnya untuk selalu berdinamika, wajarlah setelah menjadi Sarjana Kesehatan Masyarakat, ia secara musyawarah terpilih sebagai sekretaris umum pada organisasi profesi Persatuan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI) di tahun 2002, silam.

Pada perjalanan berikutnya, Arlin Adam mencoba membuka sebuah fakultas di Universitas Pejuang Republik Indonesia, maka tahun 2004, lahirnya Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Pejuang Republik Indonesia (FKM UPRI) Jalan Gunung Bawakareang no.72 Makassar, Sulawesi Selatan. Penulis dekat dengan Arlin Adam, hingga apa yang tertuliskan di sini, sesuai dengan pengamatan penulis.

Di FKM UPRI, Arlin Adam memulai karier sebagai Wakil Dekan IV Bidang Pengembangan dan Kemitraan, berikutnya dia diberi amanah sebagai Wakil Dekan Bidang Akademik, hingga akhirnya menjadi Dekan FKM UPRI di tahun 2013. Tak mudah mengemban tanggungjawab pada sebuah perguruan tinggi swasta, apatah lagi dengan adanya himbauan kementerian pendidikan tinggi bahwa perguruan tinggi di Indonesia sama derajatnya. Tantangan internal dan eksternal, Arlin melaluinya dengan spirit pendidikan, semangat mendidik anak negeri. Hingga warga Sulawesi Selatan, Papua, Flores, Maluku dan seterusnya dimintanya untuk melanjutkan pendidikan di kampus tertua di Sulawesi Selatan itu.

FKM-UPRI telah meluluskan 1.503 sarjana dengan berbagai kompetensi, alumni itu telah banyak tersebar di berbagai daerah dan menjabat sebagai Kepala Puskesmas setempat. Arlin men-sarjana-kan anak-anak manuisa itu, jangan sangka tanpa kesulitan di sana sana-sini. Karea dunia akademik itu, dunia yang rumit. 

Kisah Mahasiswa Tukang Batu

Paulinus, nama mahasiswa itu, tiga semester menunggak SPPnya. Ia dipanggil Arlin Adam sebagai dekan, berceritalah Paulinus tentang kehidupannya, sehabis kuliah ia menjadi tukang batu. Singkat kisah, Arlin Adam berdiri dan terenyuh dan memanggil staf keuangan. Arlin meminta agar mahasiswa ini dibebaskan tunggakan SPP-nya, dan Arlin Adam secara pribadi yang melunasinya. Mata Paulinus sembab, dan menyelami tangan Arlin Adam. Banyak kisah akan sosok Arlin Adam, sosok muda yang peduli pendidikan pada masyarakat yang kurang mampu dan memiliki motivasi kuat untuk melanjutkan pendidikan.

[caption caption="Foto: Dokpri Muhammad Armand (2015)"]

[/caption]

Naluri kependidikan Arlin Adam, hingga ia takkan diam bila ada seorang saja yang enggan ber-sekolah hanya karena alasan klasik, yakni keuangan. Arlin meyakini bahwa tiap-tiap orang menuntut ilmu, telah diluangkan jalan. Jadi soal biaya sekolah, banyak cara untuk menuntaskannya baik lewat bekerja, beasiswa ataukah cara menabung sebagai antisipasi kepada terbengkalainya pendidikan gegara biaya. "Ini momok yang wajib dibuatkan strategi agar soal biaya tak lagi menjadi kendala serius di kampus", ujarnya suatu waktu.

Di masa kepemimpinan Arlin Adam, ia merekomendasikan 9 (semiblan) dosen di FKM UPRI untuk lanjut ke program doktoral, dan ke sembilan dosen itu telah memasuki tahapan penelitian di univeritas yang dahulunya bernama IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Penulis pernah menanyakan kepada salah seorang mahasiswa program doktoral itu, ia berkisah singkat bahwa ternyata soal biaya di S3 bukanlah kendala utama, yang jadi problem besar jika kita tak punya kemauan untuk sekolah lagi.

***

Berikutnya, penulis sertakan sebuah foto yang menunjukkan kedekatanku dengan Arlin Adam, ada persamaan antara 'aku dan dia'. Itulah penyebabnya mengapa Kompasianer Makassar ini, cukup sanggup menuliskan sosoknya. Ya, kami sama-sama dari dunia pendidikan. Pembedanya, Arlin Adam penggiat HIV/AIDS sedang aku penggila Kompasiana....Ha ha ha

Makassar, 1 Januari 2016
Salam Kompasiana
@m_armand

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun