Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jalan Sunyi Menapak Kompasianer of The Year 2015

28 Desember 2015   20:09 Diperbarui: 9 Januari 2016   09:51 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Duo anugerah: The People Choice and Kompasianer of The Year 2015"][/caption]Kumulai artikelku, bersandar pada Allah Azza Wa Jalla-jua, pun Rasul-Nya. Berharap sungguh ditepikan dari riya'nya batiniah. Dan, relakanlah artikelku ini mengalir dari hulu ke muara dengan se-naturalnya. Penulis mestilah berkata bahwa timing-nya barangkali kutuliskan ini, kunanti sesampai reda-redanya girang-gembira pasca Kompasianival 2015. Kelewat lama kupikirkan artikelku ini. Satu perkara yang sangat ingin kuhindari, yakni: hadirnya persepsi bahwa Kompasianer dari Timur Indonesia ini terkesan euforia-narsistik-lebay. Semua itu nampaknya berkesudahan dengan ucap: Harus Malam Ini. Ya, "Harus Malam Ini"

Meragu di permula

Semulanya, kutemukan www.kompasiana.com, kala itu, penulis berselancar di www.kompas.com! So, sesungguhnya kompas.com yang wajib kuhaturkan terima kasih atas pertemuanku dengan Kompasiana. Ya, di 8 Maret 2011, silam! Pertanyaan generiknya: "Ini apa? Mengapa banyak orang menulis di sini?". Jelaslah, kutanyakan itu karena girang menemukan sebuah channel untuk meneruskan kegemaranku yang suka menulis. Lalu, kutulis artikel perdana: "Artikel Pertamaku di Kompasiana". Kuyakini, visitor akan mengucapkan 'Selamat Datang". Benarlah itu! Kudisambut bak manusia yang baru lahir, disenyumi, di-spirit-kan, dan juga dihangati.

Penulis memang ragu, sebab penulis telisik-telisik, dua-tiga orang kukenali sebagai penulis koran nasional. Lalu, kukuatkan jiwaku, ini tantangan buatku. Serupa bagaimana-bagaimanalah, kuharus menulis di sini. Terlanjur juga penulis dijuluki sebagai 'pengembara' oleh kalangan keluarga. Mestilah spirit yang menggelorakan jiwaku itu, ku-matrikulasi di blog berjamaah ini kawan. Duh, artikel ini kok kayak 'Pidato Kejuaraan". Oh tentu tidak kawan! Malah, selepas menerima Kompasianer Award dari Pak Pepih Nugraha-Mas Iskandar Zulkarnain, penulis bergegas kembali ke hotel, dan selekas sujud syukur sesuai keyakinanku, Muslim. Setelahnya, penulis memutar lagu-lagu rada sedih: Arab (Ahlal Donya-Elissa), Sunda (Nia Daniaty), Bugis (Shale AS), Mandar (Badri Rahman), Minangkabau (Ratu Sikumbang), Batak (Eddy Silitonga), Boulevard (Dan Byrd) etc. Ini memang formula psikologi yang penulis pernah ajarkan kepada mahasiswaku, 20 tahun, silam. Penulis bisa dibilang tercapai tujuan untuk kepentingan equilibrium jiwa. Inilah 'jalan sunyi' bagi penulis dari Sulawesi Selatan ini. Bahwa, kelak atau kini, bila bersedih, mesti ada equalizer-nya. Pun bila riang, juga butuh stabilisator. Agar tak mudah tersandung dalam lembah perasaan yang justru berpotensi terjadinya lose-control dan kecelakaan pergaulan dan bahasa/ucapan.

***

Berikutnya, penulis tetap bergembira menulis di Kompasiana, di 2011 itu. Suka-duka, itu mutlak adanya. Penulis kuat-kuatan untuk taklukkan segala barrier dalam menulis. Kadang-kadang juga down. Tetapi kerap-kerap bersuhu tinggi untuk tuangkan segala pikiran, empirik dan rasaku/emosi. 

Planet Kenthir

Hipokrit-lah penulis, bila tak menyebutkan sebuah komunitas kocak di sini. Dialah Planet Kenthir, didirikan oleh Agil Abd Albatati. Ada magnet yang membuatku berada di komunitas itu, yakni membernya bebas berseliweran, independen, bebas parkir, bebas keluar-masuk. Inilah komunitas yang 'membesarkanku' di Kompasiana. Dengan segala lebih-kurangnya, penulis tetap di sana. Dengan segala aktif-pasifku, penulis lagi-lagi tetap di sana. Ada satu rel, yang menyambungkanku dengan Planet Kenthir, yaitu: ber ha ha hi hi. Dan, bakat gila-gilaku juga tersalur di sana.

[caption caption="Ternyata COO Planet Kenthir Itu, Tabiatnya Cengeng"]

[/caption]

Di awal berdirinya hingga di penghujung 2015, komunitas ini memang lekat dengan hambur-hambur canda, kerap-kerap di-violentif oleh beberapa warga yang kurang setuju akan kehadiran Planet Kenthir. Tetapi lagi-lagi, penulis tetap di sana. Memantau dari kejauhan kalau-kalau PK diperlakukan di NAB (Nilai Ambang Batas), namun alhamdulillah, Selsa-Herry Fk-Bain Saptaman masih cukup menggunakan akal dalam membentengi Planet Kenthir. Ya, penulis merasa tenang.

Fans Prabowo Subianto-Joko Widodo

Memanglah penulis ini, voter Joko Widodo-Jusuf Kalla di pilpres lalu. Namun, kusuka juga dengan Prabowo Subianto. Yang kurang kusukai (maaf) bila salah seorang dari tokoh nasional ini, direndah-rendahkan. Apa daya, sesampai kini, dua kutub pendukung kedua tokoh ini, juga masih memiliki banyak energi untuk saling menegatifkan. Jalan terbaik buatku adalah menyaksikan keduanya laksana Tom and Jerry, penulis memilih tertawa. Itu lebih menyehatkan jiwa-ragaku. Tak hendak menggurui atau apalah namanya, tetapi semua ini atas nama demokrasi, walau berharap pada demokrasi ala Indonesia yang diwarna-pahami sebagai orang-orang bertabiat lembut-ramah-tanggungjawab.

Apapun itu, iklim ini sebuah turbulensi politik dan sosial budaya. Karena seingatku, kakek kita dulu, sekalipun beda haluan, beda pilihan, mereka memilih berdiam-diaman saja agar tak saling melukai. Ini yang raib di kita, sebetulnya. Dan, kuanggap saja itu 'Jalan Sunyi' menuju ke arah lebih berkualitas: demokrasi-teknik penyampaian-gestur.

Terperangkap (lagi) dengan puisi

Penulis penyuka puisi sejak usia dini, ibukulah yang mengajariku tentang puisi. Perkara bagaimana-bagaimana historisnya, tiada pentinglah penulis uraikan di sini. Penulis juga penggemar 'esei'. Dan dii Kompasiana, magma berpuisi bangkit kembali. Di sini, penulis salah seorang pengagum puisi-puisi yang dikreasi oleh tiga Kompasianer: Rahab Ganendra-Andi Wi-Harry Ramdani. Nampaknya -dengan kejujuran- penulis lebih ON kepada ketiga lelaki ini, ketimbang puisi-puisi di luar sana.

Selanjutnya, menulis puisi sama sekali bukan barang baru buatku. Itu hobi resesif! Dan Kompasiana, menunjukkanku 'Jalan Sunyi'. Ya jalan sunyi yang hanya olehku yang tahu bahwa media ini gemilang 'melahirkanku kembali' dalam riuh-senyap akan puisi. Bila kusedang menulis puisi, maka tiada panggilan yang bisa kulayani kecuali panggilan azan.

Sederet motivator

Tiga tahun silam. Penulis berjumpa Pepih Nugraha di sebuah acara beraroma blog dan tulis menulis di Unhas. Wakil Bupati Luwu Timur, Ibu Indah yang geulis itu, juga hadir. Satu pesan kuat dari Pepih Nugraha: "Jadilah vokalis Kompasiana!". Selekas jualah, penulis memaknai bahwa ini "amanah". Ini juga 'jalan sunyi' yang barangkali Pepih Nugraha 'tak mau peduli' dengan pesannya itu sendiri. Lalu, Yusran Darmawan (Kompasianer of The Year 2013), di diam dan terangku, kusukai artikel-artikelnya, ada 'mistis' di setiap artikelnya tapi kutak tahu apa itu! Alumnus FISIP-Unhas, UI dan Ohio-Amerika Serikat ini, jelas tak bisa 'kulupakan' begitu saja. Pembaca mampu memaknai sendiri mengapa penulis tuliskan Kompasianer asal Buton-Sulawesi Tenggara ini.

Di sudut lain, seseorang bernama Tjiptadinata Effendi (Kompasianer of The Year 2014) sukses membuatku 'malu hati', ia benar-benar orang tua, daya ledak menulisnya mengalahkan ratusan penulis muda di Kompasiana. Inilah, menjadi pembangkit energiku untuk menulis dan menulis, sesempat dan sesempit apapun itu, kuharus menulis.

Dan, Bain Saptaman. Sosok 'close friend' yang siap kuapakan saja, di tiap-tiap resah dan senangku. Inbox dan telpon-telponan dengannya sarat humor nan filosofis, kadang-kadang juga humor kurang manusiawi sih! Manusia yang satu ini, sudah 'lulus emisi' di mataku. Dia peduli akan diriku, barangkali karena profesi yang sama, Bain seorang guru di MAN, dan penulis seorang guru yang memberi kuliah pada tamatan MAN/SMA. Seterusnya, sosok motivator berikutnya, pastilah Nyonya Armand dan anak-anak. Begitupun pada seluruh voter atas partisipasi akan keberuntunganku ini! Thanks all guys!

Lalu apa esensi artikelku ini?

Tanya ini, tak sulitlah untuk dijawab bahwa menjadi penulis adalah perkara mudah, soal gampang, juga tak rumit. Rumitnya akan terorbit bila men-sugesti diri secara negatif. Menulis dan manusia, itu sama perkaranya. Bila kita melihat manusia dan disiplin berkata: "Dia orang baik!", maka tiadalah susah hati Anda. Demikian juga menulis, bila kita setia berkata: "Menulis itu kehidupan", maka kita tak akan pernah mau mati.

Di penghujung artikel, kusangat ingin menulis puisi singkat untuk ratusan penulis muda di Kompasiana ini:

USIA

Yang memahat usia itu siapa?
Yang mengukir umur itu siapa?
Tiadalah aku bertanya itu!
Musabab tiba jua di penghabisan

Aku ini penulis di usia ashar
Seberapa jeda lagi menembus magrib
Kusangat ingin menjumpaimu di subuh bening
Padamu pada penulis muda

--------------

Makassar, 28 Desember 2015
@m_armand

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun