Memanglah penulis ini, voter Joko Widodo-Jusuf Kalla di pilpres lalu. Namun, kusuka juga dengan Prabowo Subianto. Yang kurang kusukai (maaf) bila salah seorang dari tokoh nasional ini, direndah-rendahkan. Apa daya, sesampai kini, dua kutub pendukung kedua tokoh ini, juga masih memiliki banyak energi untuk saling menegatifkan. Jalan terbaik buatku adalah menyaksikan keduanya laksana Tom and Jerry, penulis memilih tertawa. Itu lebih menyehatkan jiwa-ragaku. Tak hendak menggurui atau apalah namanya, tetapi semua ini atas nama demokrasi, walau berharap pada demokrasi ala Indonesia yang diwarna-pahami sebagai orang-orang bertabiat lembut-ramah-tanggungjawab.
Apapun itu, iklim ini sebuah turbulensi politik dan sosial budaya. Karena seingatku, kakek kita dulu, sekalipun beda haluan, beda pilihan, mereka memilih berdiam-diaman saja agar tak saling melukai. Ini yang raib di kita, sebetulnya. Dan, kuanggap saja itu 'Jalan Sunyi' menuju ke arah lebih berkualitas: demokrasi-teknik penyampaian-gestur.
Terperangkap (lagi) dengan puisi
Penulis penyuka puisi sejak usia dini, ibukulah yang mengajariku tentang puisi. Perkara bagaimana-bagaimana historisnya, tiada pentinglah penulis uraikan di sini. Penulis juga penggemar 'esei'. Dan dii Kompasiana, magma berpuisi bangkit kembali. Di sini, penulis salah seorang pengagum puisi-puisi yang dikreasi oleh tiga Kompasianer: Rahab Ganendra-Andi Wi-Harry Ramdani. Nampaknya -dengan kejujuran- penulis lebih ON kepada ketiga lelaki ini, ketimbang puisi-puisi di luar sana.
Selanjutnya, menulis puisi sama sekali bukan barang baru buatku. Itu hobi resesif! Dan Kompasiana, menunjukkanku 'Jalan Sunyi'. Ya jalan sunyi yang hanya olehku yang tahu bahwa media ini gemilang 'melahirkanku kembali' dalam riuh-senyap akan puisi. Bila kusedang menulis puisi, maka tiada panggilan yang bisa kulayani kecuali panggilan azan.
Sederet motivator
Tiga tahun silam. Penulis berjumpa Pepih Nugraha di sebuah acara beraroma blog dan tulis menulis di Unhas. Wakil Bupati Luwu Timur, Ibu Indah yang geulis itu, juga hadir. Satu pesan kuat dari Pepih Nugraha: "Jadilah vokalis Kompasiana!". Selekas jualah, penulis memaknai bahwa ini "amanah". Ini juga 'jalan sunyi' yang barangkali Pepih Nugraha 'tak mau peduli' dengan pesannya itu sendiri. Lalu, Yusran Darmawan (Kompasianer of The Year 2013), di diam dan terangku, kusukai artikel-artikelnya, ada 'mistis' di setiap artikelnya tapi kutak tahu apa itu! Alumnus FISIP-Unhas, UI dan Ohio-Amerika Serikat ini, jelas tak bisa 'kulupakan' begitu saja. Pembaca mampu memaknai sendiri mengapa penulis tuliskan Kompasianer asal Buton-Sulawesi Tenggara ini.
Di sudut lain, seseorang bernama Tjiptadinata Effendi (Kompasianer of The Year 2014) sukses membuatku 'malu hati', ia benar-benar orang tua, daya ledak menulisnya mengalahkan ratusan penulis muda di Kompasiana. Inilah, menjadi pembangkit energiku untuk menulis dan menulis, sesempat dan sesempit apapun itu, kuharus menulis.
Dan, Bain Saptaman. Sosok 'close friend' yang siap kuapakan saja, di tiap-tiap resah dan senangku. Inbox dan telpon-telponan dengannya sarat humor nan filosofis, kadang-kadang juga humor kurang manusiawi sih! Manusia yang satu ini, sudah 'lulus emisi' di mataku. Dia peduli akan diriku, barangkali karena profesi yang sama, Bain seorang guru di MAN, dan penulis seorang guru yang memberi kuliah pada tamatan MAN/SMA. Seterusnya, sosok motivator berikutnya, pastilah Nyonya Armand dan anak-anak. Begitupun pada seluruh voter atas partisipasi akan keberuntunganku ini! Thanks all guys!
Lalu apa esensi artikelku ini?
Tanya ini, tak sulitlah untuk dijawab bahwa menjadi penulis adalah perkara mudah, soal gampang, juga tak rumit. Rumitnya akan terorbit bila men-sugesti diri secara negatif. Menulis dan manusia, itu sama perkaranya. Bila kita melihat manusia dan disiplin berkata: "Dia orang baik!", maka tiadalah susah hati Anda. Demikian juga menulis, bila kita setia berkata: "Menulis itu kehidupan", maka kita tak akan pernah mau mati.