Mahasiswa bimbinganku, konsul judul. Ia datang dengan cerianya sambil membuka data-data tentang perilaku seksual, di handphone-nya. Dimulailah diskusi: dari soal homoseksual-heteroseksual-gaya hidup free sex di Kota Makassar. Adyatma, nama anak didikku itu. Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM Unhas, yah di fakultas inilah Kompasianer Makassar ini mengabdi. Jadi penulis ini bukan di fakultas sastra, komunikasi atau kedokteran? He he he
Lalu, Adyatma sempat nyerempet soal pedophilia. Rasa-rasanya ia tertarik untuk meneliti perilaku seksual yang satu ini (yang lagi trending di Kompasiana). Namun, penulis 'memblok' keinginan mahasiswa akhir itu! Kenapa? Karena penulis akan kasihan padanya! Apa ia bisa mendiagnosis di lapangan; yang mana positif penderita pedophilia, yang mana negatif! Maka, jelaslah ini akan merumitkan baginya.
Alamat palsu
Tertegunlah penulis dari Makassar ini, saat pemerintah akan memberlakukan tindakan kebiri (entah kebiri fisikal, kimiawi, injeksi dll) kepada pelaku pencabulan seksual kepada anak-anak di bawah umur. Tiada populer barangkali bila kubertanya: "Mengapa alat vital itu yang menjadi sasaran?". Bukankah pedophilia sejajar dengan perilaku seks menyimpang lainnya seperti: incest, homo, lesbi ataukah seseorang yang gemar pamer alat vital?
Dari sedikit pengetahuanku tentang Psikologi Kesehatan, di dua dekade. Penulis mengiyakan bila soal pedophilia ada behavior disorder. Yes, sesungguhnya pelaku pedophilia itu merangkap korban juga. Ya, ia menderita kejiwaan. Tiadakah lebih manusiawi bila penderita pedophilia dirujuk ke rumah sakit jiwa? Inilah yang kusebut salah alamat. Orang menderita gangguan jiwa, mengapa alat vitalnya yang dipersoalkan? Bahkan akan diberi perlakuan agar pada alat vitalnya dari 'fungsi' menjadi 'disfungsi'. Bukan pulakah ini melanggar hak-hak reproduksi, semisal penderita itu telah sembuh dari 'sakit jiwanya?'.
Selanjutnya, penulis ini justru bertanya-tanya: "Di mana gerangan kawan-kawan yang memusatkan perhatiannya tentang perkara-perkara mental health?". Penulis bukanlah menggugat, hanya bertanya-tanya saja, sebab problematika perilaku seksual yang menyimpang, jelas soal kesehatan mental dan soal perilaku, dan soal psikologi, sekaligus soal psikiatrik! Bila narkoba memiliki BNN, mengapa perkara pedophilia yang sudah melewati ambang batas kemanusiaan itu, tak disusunkan draft pembentukan Badan Pencegahan dan Penanggulangan Penderita Pedophilia? Penulis -sampai saat ini- belum memiliki informasi akurat akan adanya badan yang mengurusi problematika kesehatan masyarakat yang satu ini.
Sila pembaca teliti judul artikelku di atas, itu amatlah sempit sebab soal kebiri itu amatlah luas cakupannya: genitalia maskulina, genitalia feminina, testosteron yang berhubungan testis, dan organ kesehatan reproduksi baik pada pria maupun perempuan. Belum lagi soal sosial, psikologi, hak azasi manusia, hukum dan politik. Â
Positif palsu
Dalam screening epidemiologi, kita cukup mengenal adanya istilah positif palsu (false positive), yang menduga kuat bahwa ciri-ciri pedophilia: memiliki gestur yang baik-baik, intens bergaul dengan anak-anak, menggunakan cara-cara agar dipercaya sebagai orang yang tidak berbahaya. Bila sesederhana ini ruang lingkup pedophilia, maka penulis sudah termasuk 'pedophilia' karena penulis suka anak-anak. Mungkin juga Anda! He he he.
Maka itu, ini menjadi alasan kenapa mahasiswaku yang gagah itu, 'kularang' meneliti soal pedophilia. Khawatirku bila terjebak dalam positif palsu, memastikan pedophilia, padahal bukan! Persis kasus seorang polisi yang salah tangkap. Ini memang hal lumrah dalam riset-riset kesehatan dan kedokteran. Tetapi, bagaimanapun, ilmu dan pengetahuan tetap wajib dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan dan juga manusia, serta pada alam.
Tentu akan berbeda, bila seseorang telah divonis secara medis/psikologik dengan berbagai instrumen untuk mengukur dan memastikan orang menderita pedophilia. Jangan sampai pemerkosaan murni, disangka pedophilia. Makna lainnya, mengapa kita tak mencoba untuk melakukan upaya-upaya preventif akan prevalensi pedophilia? Bukankah ini soal predisposing mengapa seseorang bisa tercerabut martabatnya oleh mosnter pedophilia yang sungguh sulit dtemukan obatnya ini! Seterusnya, soal hukuman kebiri, penulis sulit menerima, pun sulit menolak, sebab jelas ini bersentuhan dengan tindakan kriminal (pidana) walau yang dikebiri itu, soal 'perdata' karena menyangkut 'harta dan barang berharga' seseorang.
Begini sajalah! Adakah penderita pedophilia atas sederet penyimpangan seksual lainnya itu, terjadi pada lelaki/perempuan yang kondusif lingkungannya? Jawabku: Sulit ditemukan penderita pedophila yang lingkungannya baik! Lalu, mengapa pelaku pedophilia sangatlah sadis (semacam: sadomasokis-sadistik). Lah..., pencetus sadistik itu dipicu oleh kekuatan fantasi sek yang muluk-muluk, gak wajar dan muluk-muluk! Nah, apa penyebab akan semua ini? Oh, kita akan sontak terkaget-kaget akan kemajuan teknologi informasi yang demikian terbukanya sekarang. Hemmm, dari tilikan psikologiknya, apa yang kita lihat- cermati-perhatikan maka ada kecenderungan untuk menirunya (adopted).
"Seks palsu" bagi pelaku dan korban
Korban pencabulan senonoh, mengalami dua kali penderitaan. Penulis menyebut demikian sebab analisa sedari dahulu sampai secanggih ini, anak-anak yang di bawah umur itu, menjadi sasaran oleh pelaku pedopihilia. Kecenderungannya pada anak-anak yang memiliki pertumbuhan psikologik yang kurang akurat. Kurang mewakili karakter anak-anak pada umumnya yakni ceria-lari-lompat-lompat dan enjoy dalam interaksi sosial. Bila demikian, cukuplah menjadi informasi bahwa anak-anak kita di rumah, juga berpeluang 'diperlakukan' kurang manusiawi oleh pelaku pedophilia di luar sana. Karena kita sebagai orang tua, juga renggang hubungan emosional dengan anak-anak kita. Mungkin?
Lalu, di benak pembaca menggugat: "Loh, anak-anak normalpun mengalami pelecehan seksual oleh pelaku pedophilia kok!". Ya, gugatan itu juga tiada salahnya. Pertanyaan selanjutnya, bukankah 'anak normal' masih aktif instink-nya akan bahaya yang mengintai? Selugu apapun anak itu, bila terancam secara psikologik dan fisik, maka orang yang paling pertama diingatnya adalah ayah-ibunya. Lalu, bagaimana ayah-ibu bisa diingat-ingat dan disebut-sebut sang anak, bila relasi emosionalnya ke ayah-ibunya kering sekali. Ya, sebatas anak biologis, jauh dari julukan anak psikologik dan anak sosiologis dari orang tuanya atau lingkungannya. Lantas, tiba-tiba mendapat perhatian yang sistematis dari penderita pedophilia. Hati anak siapa yang tak luluh!
Dan pada tiap-tiap peristiwa pelecehan seksual oleh pelaku pedophilia, penulis menganggapnya sebagai "seks palsu". Anehlah istilah ini, bukan? Palsu dikarenakan anak-anak dipaksa-paksa untuk melayani syahwat menggila dari pelaku pedophilia. Sebuah 'penyelenggaraan' hubungan seksual yang aneh-aneh. Jauh dari sewajarnya, dan mengancam organ reproduksi sang korban.
So, esensi artikelku di mana? Jawabku: suapi anak-anak dengan nutrisi psikologik bila tak ingin anak-anak itu kenapa-kenapa. Sayangi saja anak-anak itu, Insya Allah, Tuhan juga menyayangi anak-anak itu.
Maafkan bila hadir kalimat yang kurang tepat, lagi pula keilmuanku mulai meredup soal psikologi kesehatan sejak aktif menulis dan berpuisi di Kompasiana...He he he canda.com
Makassar, 23 Oktober 2015. Dan di penanggalan 23 Oktober 1993, silam. Penulis ditinggalkan oleh seorang lelaki yang nutrisi psikologiknya diberikan kepadaku, tak sanggup kuhitung. Dialah, ayahku! Ayah Armand, kawan Kompasianer Anda!
Salam Kesehatan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H