Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Headline, Itu Sentrum Neoklasik

2 Agustus 2015   17:06 Diperbarui: 12 Agustus 2015   06:56 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kukatakan dengan sederhana, bila terhadiahi headline di sebuah artikel, itu adalah perkara sangat biasa, soal umum dan perihal lumrah! Malahpun tergolong klasik. Kenapakah penulis berkata begitu? Karena urusan headline, setiap penulis berpotensi untuk dipajang di halaman depan, siapapun penulis itu!  Semua manusia sanggup melakukan itu, bukan? Bisa jadi, pendapat ini tak disetujui oleh pembaca. Itu memang area masing-masing pembaca untuk menyatakan agree or disagree. Bedakah antara karya yang dihalandepankan dengan yang dihalamanbelakangkan? Bagiku, tiada beda, sama-sama di halaman. Keduanya punya public space. Tiap-tiap halaman pasti ada manfaat/gunanya. Kunci-kuncinya, keduanya juga butuh ulet-uletan dalam menulis, multi kreatif dalam memilah tema, dan juga kuat-kuatan dan tahan-tahanan menyelesaikan dan mengakhiri artikel. Nyaris pulalah penulis ujarkan bahwa tiap-tiap menulis artikel, keduanya sama saja modus operandinya; fokus-mandiri-taktis. Dan, sesiapa (termasuk penulis) yang berimaji headline, maka kusebutlah itu sebagai fenomena neoklasik, sesuatu yang telah uzur dan usang, diperbaharui terus-terus dan meneruslah!.

Penulis telah berjuang untuk serukan pendapat ini, di khalayak dan juga para calon komentator, di sini. Menjadi luar biasa, bila cap Headline itu, tak mendorong penulisnya bertinggi-tinggi batin, eh hati. Butuh rem psikis untuk soal yang satu ini, senang-gembira itu ekspresi, dan merasa lebih dari yang lain adalah eksploitasi perasaan negatif. Maafkanlah bila dalil ini, tak tepat atau kurang benar dan banyak salah. Penulis hanya ingin belajar untuk tak pongah atas sebuah penilaian psikologik dan juga sedikit sosial budaya dalam urusan menulis. Dan, berguru pada orang-orang yang sukses merendahkan hatinya. Dan, itu panenan batin yang membahagiakan! Selanjutnya, disebutlah sebagai kualitas kepribadian seseorang! Sejujurnya dan seterbukanya, penulis belum terdaftar di jejeran penulis yang berkepribadian elok. Sesampai artikelku ini mewajahkan cermin bagi diri sendiri! Iya, diriku sendiri. Kuanggap saja tulisan ini sebagai artikel bersih-bersih dirilah! Yah. kukirim salam hangat saja kepada yang sepakat maupun yang kurang sepakat dengan tulisan datar ini.

Tak mainstream (lagi)

Kembalilah ke khittah, bahwa pikiran, ruhaniah dan psikomotorik. Ketiganya satu keutuhan, integrated. Penulis telah lama mencoba menghindar dari buaian headline, terasa dimanjakan di ayunan bila itu menjadi arus utama dalam menulis. Ekstrimnya penulis merasa cengeng, namun bagi pencumbu headline, itu juga tak keliru. Ini area psikis, jua. Hingga bermercusuar kalimat serupa ini: "Apalah artinya?". Yah, apalah artinya headline? Kabar besarnya, headline itu kolom terhormat, penghargaan admin. Artikulasi ini berbalut psikologik belaka, sebab seluruh penulis di sini, semuanya terhormat dan berharga. Terhormat penulisnya, berharga tulisannya.

Bagiku penulis terhormat, bukanlah seorang penulis yang ingin dihormati, tetapi sebaliknya penulis terhormat adalah yang sanggup menghormati penulis lain, menghormati komentar yang masuk, bertenggang rasa pada artikel-artikel sesama, bahwa semua tulisan adalah bagus. Menyusuri kehormatan orang lain, selalu lebih indah daripada mencari-cari kehormatan diri sebagai penulis. Dan, riang-rianglah berpendapat bahwa Kompasiana ini adalah kumpulan orang-orang baik, penuh kearifan, pro kemanusiaan dan anti konflik. Begini inilah rupanya dalam mematangkan mental, mendewasakan diri dalam menulis, acap merenda kasih dalam menyerukan kebaikan, di sana dan di sini. Pembaca (lagi-lagi) boleh tak sejalan dengan opini dan empirik ini. Tetapi kubersimpuhlah memohon untuk belajar mencobanya, merenung-merenunginya bahwa intisari dalam menulis sebenarnya apa? Ya sarinya itu bisa berserbuk-serbuk serupa merawat perkawanan (bukan sekedar menjalin pertemanan lagi), menajamkan pikiran (bukan sekedar menghindari pikun dini), mengorbitkan kekuatan jasmani dan batin (bukan sekedar menjaga kesehatan), meluaskan dan memburu ilmu pengetahuan (bukan sekedar mencari-cari ilmu) dan juga belajar kuat memberi maklum, dan bukan sekedar ingin dimaklumi sebagai penulis.

Orang lain selalu lebih baik!

Inilah inti artikelku ini, hendak menyemai pesan bahwa orang lain atau penulis lain, selalu lebih baik. Teknik ini miliki aneka manfaat psikologik:

1) Refleksi terhadap kekurangan diri atas kelebihan orang lain,

2) Haus akan keinginan agar orang lain yang lebih baik itu dapat menjalar kebaikannya kepada diri sendiri,

3) Karena orang lain lebih baik, maka potensi menerima pendapatnya lebih menganga dan terbuka lebar untuk terterima (ini buah perseptual baik),

4). Menepikan diri untuk menghindarkan diri dalam menonjolkan diri karena dugaan kuat orang lain selalu lebih baik hingga penonjolan diri secara ekstirm akan terkendali bahkan terjeda, bila perlu tiada akan muncul lagi,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun