Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Puasa Kok Paranoid

16 Juni 2015   15:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   05:58 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: ramadhanramadhan.blogspot.com

---------------------

Apa iya orang yang gak puasa akan sengaja mengganggu orang yang sedang ber-shaum ramadhan? Apa iya yang gak puasa itu ditujukan kepada non-Muslim hingga mereka dicemaskan akan menenteng makanan di depan orang-orang yang berpuasa? Ataukah orang-orang Islam sendiri yang tak puasa di bulan suci itu, lalu mereka pamer-pamer makan di sesosok diri kita? Ya gak separah itu kaleeee. Sepertinya ada problem di sini, ada masalah serius! Lalu, di mana istimewanya bulan ramadhan itu bila belum jua saatnya berpuasa sudah melatih diri berburuk-buruk sangka. Bila rumah makan terbuka, dan orang-orang pada singgah makan, mengapa kita (Muslim, red) kok rada-rada sewot, gak suka, gak respek! Sedang mereka gak sewot sedikitpun pada kita.

Kuduga artikel ini akan disoraki oleh 'kedua kubu': Yang puasa dan yang tak puasa. Emangnya artikel ini untuk memanas-manasi polemik akan adanya keharusan orang non-puasa kepada yang sedang bertarung menahan amarah, makan, minum, bersetubuh dan nafsu lainnya. Kawan, apa lagi yang harus diperdebatkan berlarut-larut begitukah? Bukankah pada bulan ramadhan, mau yang puasa, mau yang gak puasa, semuanya diikat dalam simpul ramadhan, sebulan lamanya. Mau Islam-Nasrani-Hindu-Budha, dst, kita ini 'satu'. Bedanya hanya ini: Satunya puasa, satunya tidak puasa. Di Hari Nyepi, itu semua dalam suasana Nyepi, bedanya; yang satu merayakan, satunya lagi gak Nyepi. Di hari Natal, seluruh dunia dalam suasana Natal, bedanya; Nasrani merayakannya, sedang lainnya tiada akan mengganggu. Di Islam, siapa yang akan mengganggu Anda saat melaksanakan puasa? Kuyakini tidak akan ada 'orang gila' yang akan mengusik-usik Anda dalam berpuasa-tarwih-ngaji atau tadarrusan.

Tak sekaku itu!

Pernyataan seorang pejabat kementerian agama akan tetap dibukanya warung makan seperti biasa. Bagi penulis, pernyataan itu biasa saja, tiada yang aneh bin langka. Orang Islam sajalah kelewat responsif, apa yang dilanggar secara yuridis atas tetap dibukanya warung makan di siang hari? Maukah kita disebut sebagai agama yang egois? Gimana jadinya bila benar-benar saudara-saudara kita yang wajib makan lantaran sebuah penyakit? Mengharuskannya untuk tak puasa demi kesehatannya! Lalu, saudara-saudara kita yang non-Muslim yang memang harus makan karena laparnya. Lantas, pernyataanku ini akan bersua tanggapan: "Hai Armand, sampean Muslim apa bukan sih?". Dan penanggap lain menguatkan emosinya: "Loe mau gak saat puasa, orang-orang pada makan di depanmu?". Tak segesit tanya itu akan kujawab, kunanti redanya sang penanggap dalam lilitan emosional, dan kukatakan padanya: "Apa iya ada orang seperti itu? Yang sengaja berakrobatik di depan orang yang sedang berpuasa".

Kemudian, seseorang lagi bergumam: "Itu sama saja menghina orang yang sedang puasa!". Waduh, soal hina dibawa-bawa juga, jangan-jangan terkategori sebagai penistaan agama pula. Dan juga menodai kesucian agama Islam dan kesucian ramadhan sebagai Bulan Suci. Bulan istimewa tetaplah istimewa, tapi tidak bermakna bahwa orang berpuasa wajib diistimewakan oleh sesama manusia, sebab Allah sendirilah yang menjadi Pemberi label istimewa kepada hamba-hambaNya yang muslim, yang berpuasa. Berikutnya, adakah Baginda Nabi meminta agar kaum yang tak puasa menghormati Muslim yang sedang puasa? Lantas lagi, mengapa kita demikian kaku memaknai orang yang berpuasa harus dihormati oleh yang tidak berpuasa?

Padahal lagi, soal hormat-menghromati itu adalah 'rukun agama', baik di dalam puasa, maupun di luar puasa' baik di bulan suci maupun di luar bulan suci. Ini opini pribadiku sebagai muslim awam. Sebab, puasa bukan datang membawa masalah, bukan pula tiba membawa permusuhan satu dengan lainnya.

Jangan emosional begitu!

Hanya sebab pernyataan seorang pejabat negara merangkap warga negara Indonesia, kita tiba-tiba membully sang pejabat itu, jelas teknik ini tidaklah Islami, padahal kita ngakunya Islam. Apakah karena kita pemeluk mayoritas hingga kita tersinggung dengan pernyataan sang menteri agama itu? Bagaimana seumpama yang mengucapkan adalah menteri agama Amerika Serikat? Tentulah Anda tidak tersinggung jika warung makan di AS tetap dibuka seperti biasa atau lazimnya. Kenapa? Karena tolak pandang kita bertumpu pada mayor-minor. Dan itu kurang elok!

Yang diucapkan sang menteri tak mutlak salah, visi sang menteri bagaimana terciptakan harmonisasi antara yang puasa dengan yang tak puasa. Bahwa orang yang tak menjalankan puasa menghormati orang yang sedang puasa, itu wajar. Orang yang berpuasa menghormati orang yang tidak puasa, itu juga harus terjadi. Persoalan bagaimana teknik penghormatan itu, tak perlu kelewat diributkan, toh ada ikatan norma, budaya dan taste kemanusiaan kita sebagai makhluk berbudi dan ber-pekerti. Jadi, saat puasa, tak perlu paranoid! Laksanakan dengan sewajarnya, seperti saat berpuasa yang di hadapan kita ada istri yang tak puasa lantaran haid, ataukah seorang suami yang tak sanggup puasa karena sakit paru-paru yang tak terobati.

Soal warung yang tetap terbuka, itupun akan jadi hal biasa nantinya di bulan ramadhan. Dibutuhkan kecerdasan bagi orang-orang yang berpuasa menyikapi semua ini. Karena mereka tak melanggar apa-apa saat makan di warung makan, lagian makanan di sana tidaklah diharamkan. Perkara Anda merasa terganggu, penulis meyakini bahwa Anda terbawa arus kebiasaan yang tak lazim melihat orang tak puasa di bulan ramadhan. Bahkan umat Islam yang tak puasa, tahu bila makan di siang hari membatalkan puasa, tidak berarti bahwa makanan itu 'haram'. Jadi, tiada perlu-perlu amat untuk merasa terancam, sebab sesama orang tak berpuasa pun, akan saling menegur. Karena hormat-menghormati itu, sifat asli manusia. Tugas kita kepada muslim yang tak puasa dan tak memiliki alasan rasional (kesehatan/musafir dll), untuk bernasehat dalam pilar kelembutan dan ber-uswatun khasanah, hingga orang-orang Islam yang tadinya malas puasa menjadi rajin puasa. So. jangan sudutkan para pedagang/pengusaha warung makan baik warung besar maupun warung kecil, sebab mereka sedang mencari rejeki di bulan penuh berkah ini. Penulis akui, puasa itu wajib, mencari nafkah juga wajib!

Semoga artikel ini tidak disambut dengan gelora negatif dan raungan nafsu angkara. Sebab fakta lapangan nanti, tiada seburuk yang kita sangkakan. Selamat menyambut ramadhan, jadilah sebenar-benar bulan istimewa bagi umat Islam, istimewa pikirannya, sikapnya, reaksinya, gesturnya dan perilakunya!

Salam Kompasiana Sore

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun