Coba rekeng-rekeng, berapa kali kita mengatakan: "Tidak" pada permintaan orang; semisal minta ketemu, minta mengerjakan job tertentu, dimohon untuk mewakili seseorang pada sebuah kegiatan, diminta menjemput di terminal bandara, ataukah bermacam-macam bentuk permintaan atau ajakan oleh orang lain? Faktanya, kita lebih dominan menjawab: "Ya", bukan? Walau sesungguhnya kita ingin menolaknya tetapi kita tiada mampu mengatakan yang sejujurnya-seadanya-kebenarannya dengan pertimbangan "Gak enak". So, disconnect antara gejala kognitif-nalar-rasio dengan afeksi-gejala emosi-kejiwaan. Setelah kita menjawab: "Ya", dan baru saja kita insyafi bahwa di situlah problem batin mulai menggeliat! Kenapa kita memang menjawab "Ya" bila nyatanya memang "Bukan Ya".
Ini akan sangat berbahaya terhadap tumbuh-kembangnya kejiwaan manusia. Berkata terbalik itu, sesungguhnya 'miniatur hipokrit', tak searahnya antara pikiran dan perasaan sehingga terjumpai kalimat yang aneh dan unik. Maksud penulis, terjadi perbedaan yang signifikan antara 'dirasa-dipikir' dengan pernyataan. Bila kita terbiasa dengan 'budaya' ini, maka itu dikategorikan sebagai syndrom, nyaris mendekati sebuah penyakit kejiwaan yang sepupuan dengan kelainan kejiwaan. Teramat sepele memang! Malahpun dianggap biasa sebab kebanyakan orang melakukannya, spesifikasi manusia Indonesia yang kadang adat ketimuran disalahmaknai.
Kasus ringan
Seorang kawan, berjanji padaku, menjemputku dengan mobil untuk sebuah acara akademik di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Kisah ini amatlah unik sebab kawanku yang menawarkan diri untuk menjemputku, ia juga yang membuatku menunggu di depan rumah sampai 9 (sembilan) jam. Pembaca telah sangat bisa menebak akhir kisah ini! Kawanku itu tidak menjemputku, handphone-nya pun sudah tak berdaya lagi alias dimatikan. Marahkah penulis? Tentu tidak! Kenapa? Karena penulis seorang 'peneliti', penulis malah bersyukur tiba-tiba dapat 'proyek penelitian' sehubungan dengan perilaku-perilaku manusia.
Besoknya, penulis mendapat informasi yang justru dari kawan lain (baca: bukan pelaku penjemputan batal itu). Akurasi informasi itu membuatku terkekeh-kekeh, sebab pelaku bingung mau berkata apa kepadaku, bahkan bingung setengah mati. Yang marah besar, malah kawanku yang satu ini, penulis makin tertawa sebab apa gerangan manfaatnya marah kepada sebuah peristiwa yang sudah terjadi?
Yang perlu ditelaah, mengapa kawanku yang menawarkan diri untuk menjemputku tak mampu memberi informasi tentang alasan dibatalkannya penjemputan? Jawaban psikologiknya karena kawanku itu terjangkit Sociotropic syndrome. Sebuah gejala kejiwaan bercirikan penderitanya sangat lemah dalam mengungkapkan perasaan. Penderita sangat takut dengan risiko, walau sesungguhnya ia sedang 'hamil risiko' dan sebentar lagi akan 'melahirkan risiko' baru.
Contoh Asertif: Nurulloh Vs Armand
Senin, 6 April 2015. Mas Nurulloh (Admin Kompasiana), dari Jakarta menuju Makassar untuk sebuah kegiatan Tour To Campus. populer disebut Kompas Campus. Yang dituju, kampus Universitas Hasanuddin (habitatku mengabdi), kala itu. Dengan teramat lembutnya, Mas Nurul yang usianya 1/2 dariku, mengajakku kopdaran di Makassar. Sebuah ajakan yang baik, demi merekatkan silaturahmi. Apakah penulis langsung mengiyakan? Tidaklah demikian. Penulis menunda jawaban beberapa jam! Kenapa? Karena penulis 'self efficacy". Apa itu? Ya, mencermati diri, memeriksa kesanggupan atau ketidaksanggupan yang dilenterai oleh pelbagai faktor. Faktor itu beristilahkan masalah waktu, daftar agenda pribadi, menoleh sisa-sisa pekerjaan yang bertalian dengan pendidikan, penelitian ataukah pengabdian pada masyarakat. Bila penulis seketika menjawab "Ya" atau "Tidak" atas ajakan Mas Nurul, maka itu sebuah blunder mini yang penulis lakukan.
[caption id="attachment_409681" align="aligncenter" width="300" caption="Dokpri (RUL), Kampoeng Popsa, Makassar, 6 April 2015"][/caption]
Potret di atas, sebuah perjumpaan Mas Nurul-Armand-Ihsan, ekspresif sebab telah melalui proses asertif. Ketiganya sebelum bertemu, menyatakan ide, tawaran, opini, pendapat, perasaan sesuai dengan pikiran-perasaan itu sendiri. Lalu, arah artikel ini ke mana? Sabar sobat! Ha ha ha
Inilah subtansinya
Bila rekan Anda mengajak, dan sesungguhnya Anda tidak siap atau sama sekali tidak bisa. Maka katakanlah sejujur-jujurnya. Karena itu selalu lebih baik! Berguna bagi Anda dan juga bermanfaat bagi Si Pengajak. Â Ketika ditelpon untuk bertemu, jangan gegabah menjawabnya. Gunakan intermediasi waktu, tunda jawaban pasti. Katakan dengan sederhana dan jangan lupa sertakan kata 'maaf' bila memang sudah diputuskan untuk menolak ajakan itu disebabkan telah didahului oleh agenda lain, ataukah agak tidak enak badan, ataukah capek misalnya. Anda wajib egois, di sini. Sebab tubuh juga harus egois, tubuh itu tiada pernah berdusta. Jadi, jangan juga dustai tubuh Anda.
Inilah disebut asertif dalam psikologi! Sebuah karakter yang menguatkan diri, mengokohkan pendapat, mensinkronkan antara pikiran-rasa-tindakan. Lantas, masalahnya di mana? Takutnya dengan karakter asertif diidentikkan dengan ketidakmengertian akan tata krama pergaulan dan pertemanan! Oh tidak kawan. Asertif itu malah wajib dijulangkan. Di sana hadirlah identias Anda yang sesungguhnya, yang mampu berkata "Ya" bila memang seharusnya "Ya". Begitupun sebaliknya, berkata "No" jika memang seharusnya demikian.
Para psikolog sudah sangat lama meneliti perilaku manusia serupa ini, bahkan telah terbit berbagai buku-buku psikologi yang mengkaji perilaku manusia ini. Sebut saja sebuah buku dengan judul: "How to say no!". Buku ini terbit dilatari oleh banyaknya manusia berkata terbalik-balik. Mirip-mirip lagunya Raja: "Benci Bilang Cinta" hahaha
Lalu perkembangan perilaku manusia berjalan terus-menerus, bukan lagi sekadar "How to say no" tetapi sudah di parkiran: "How to say sorry". Nah, inilah solusi psikologiknya, asertiflah dengan memakai pola kalimat cerdas dan tak mengecewakan ringan kepada seseorang yang mengajak Anda, seumpama itu adalah atasan, paman, bibi, sepupu, kolega bisnis, teman jejaring sosial ataukah sederet bentuk pertemanan lainnya.
Contoh asertif: "Maaf, lain kali saya pasti bisa, namun kali ini saya belum bisa. Dan saya beruntung sekali mendapat ajakan ini sekaligus saya belum beruntung karena belum bisa bertemu dengan Anda". Ini cumalah sebuah contoh diksi penolakan halus, tentulah melihat siapa teman berbicara, akan lain pilihan diksinya bila itu adalah atasan, paman ataukah lainnya. Kita tiada perlu mencari-cari 'alasan mati', itu kekonyolan belaka.
[caption id="attachment_409675" align="aligncenter" width="300" caption="tutzone.org"]
Mengembangkan asertif diri, memiliki manfaat luar biasa, yakni: orang lain menerima karakter kita tanpa kamuflase. Dan sesungguhnya, asertif diprioritaskan kepada gaya komunikasi, kemampuan menyampaikan pesan yang kuat namun tak menyinggung orang lain. Itu esensinya!
Salam Asertif Kawan Kompasianaku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H