Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Modus Sang Mafia CPNS

8 Oktober 2013   10:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:50 1461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_293283" align="aligncenter" width="546" caption="Ilustrasi PNS (KONTAN/Franciskus Simbolon)"][/caption]

KALA pesawat berbaling dua, menghantarku ke sebuah destinasi, destinasi eksotik itu bernama Kaimana, Papua. Tertilik olehku sebuah papan bicara: "Selamat Datang di Kota 1000 Senja". Mengapa lagu 'Senja di Kaimana' -ciptaan Surni Warkiman- begitu legendaris? Saya baru sempurnakan pahamku dan tanyaku pun terjawab atas terlukis indahnya bait-bait manis nan tragic itu, tolehlah liriknya:

Kau usapkan tangan halus mulus Di luka nan parah penuh debu

1381201657415525625
1381201657415525625
Iring-iringan pencari kerja (CPNS) urus Kartu Putih di sebuah kantor pemerintah di Nabire (Dok: Armand, 4 Oktober 2013)

Kupalingkan pandangan mataku, kulihat sangat jelasnya, para penanti keluarga, sahabat dan kolega, lambaikan tangan dan sumringah. Kornea mataku tak mampu terpicing, ada tanya membatin: "Mengapa wajah-wajah mereka tak serupa etnik Papua? Apa gerangan yang terjadi di sini? Tertegunlah aku, mengusap ubun-ubun. Fakta telah terlentang, mereka 'mengepung' kota-kota di Papua demi meluluskan diri sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di kalender 2013.

Berjumpa dengan mafia

Kaimana, kota kenangan itu kutinggalkan, kutanggalkan seribu tanya di sana akan beautiful scenery, retaknya perahu nelayan, transportasi yang memilukan, dan kulepaskan diri dari runway yang tergolong amat pendek, di tepi laut. Menujulah aku di persinggahan terakhir, Nabire. Sebuah kota yang sanggup cucurkkan keringat sebesar sweet corn, saking gerah nan teriknya.

Tibalah jua saya di bandara mungil nan 'jorok' itu. Bandara yang lebih menegaskan: "Dilarang Makan Pinang" ketimbang No Smoking, dan saya lanjutkan perjalanan ke sebuahhotel 'terbaik' di Kota Nabire. Di sanalah, saya bersua 'kawan baru'. Kami duduk di lobby hotel, seseorang pun datang, menyerahkan sebuah amplop besar berisikan ijasah, 'kartu putih', foto copy KTP dan berkas-berkas lainnya.

Itulah awal dari segala wujud pembicaraanku dengan kenalan baruku itu, 'beliau' telah lama berprofesi 'broker CPNS', takjub aku dengan 'cara kerjanya', di kartu ujian CPNS, ia dapat mengubah foto peserta ujian. Ujian dapat diwakilkan, ia pun telah berkonspirasi dengan 'pihak-pihak' terkait, soal bayaran, itu perkara belakangan. Meyakinkanku sebab deringan handphone-nya berkring-kring, konten komunikasinya terfokus pada taktis dan strategi menjadi CPNS.

Alasan

Jadilah saya akrab dengannya, beranilah saya blak-blakan. Saya tohok dengan pertanyaan ringan: "Kalau calon CPNS-nya sudah lulus, terus tidak bayar, bagaimana?" Sang Mafia hanya tersenyum atas tanyaku, sesaat kemudian ia 'berorasi'. "Kalau mereka bayar, syukur. Kalau tidak, no problem," ucapnya sambil membuka kedua telapak tangannya.

Bingung juga saya atas 'no problemnya' jikalau calon PNS-nya tak bayar atas 'jasanya'. Tak berapa lama, ia pun imbuhi kalimatnya: "Mana berani mereka tak bayar, jika mereka ingkari janji dan tidak membayarku, saya batalkan status CPNS-nya". Wah hebat sekali orang ini, gumamku dalam batin. Ini orang sepertinya telah menguasai medan A to Z. "Ah soal begini terjadi di mana-mana, asalkan masih di Indonesia. Jangan berharap lolos PNS kalau tidak ada yang pegang."

Dari uraian-urainnya, saya terkesan bahwa ia memprioritaskan penduduk lokal untuk di-CPNS-kan, alasannya: "Penduduk di sini pasti kalah bersaing dengan orang luar," ungkapnya lagi. Berceritalah ia bagaimana proses pendidikan di kota kecil ini, tenaga guru yang minim, infrastruktur yang lemah, mentalitas warga gaya 'panitia', sejam dapat uang, 30 menit telah ludes. "Dua hal yang harus di-intervensi di sini, pertama; soal kognitif, kedua, soal mentalitas. Mental penduduk lokal yang belum beranjak dari budaya boros," ujarnya panjang lebar dengan gaya bahasa ilmiah. Dan saya timpali, "Termasuk intervensi bayar-bayaran CPNS ya Pak?" Ia pun tertawa.

Apa yang diungkapkan oleh 'beliau', sulit terbantahkan. Betapa tragisnya pendidikan di sini, di ruang kuliah, saya kerap temukan mahasiswa entah berlatar bidan, perawat ataupun nutrisionist, begitu lemah teknik berpikirnya. Mereka bukanlah terlantar, tetapi ditelantarkan oleh pengelola negara.

Tanah mereka kaya raya, namun setia dalam rupa-rupa kemiskinan. Kemiskinan materi, pendapatan, pendidikan.

Ironis memang...!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun