Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Doa Pekerja Seks Komersial

22 Januari 2014   15:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:35 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_317482" align="aligncenter" width="300" caption="www.timurangin.com milik Yusran Darmawan"][/caption]

Perkenalkan, namaku Evi. Dulu aku disebut pelacur, lonte, perek. Digeser harkatku menjadi Wanita Tuna Susila. Ditingkatkan lagi statusku menjadi Pekerja Seks Komersial. Aku ingin pelangganku meningkat, agar pendapatanku terungkit, di balik hasrat besar kaum lelaki yang belang-belang hidungnya. Ini niatku sejak bekerja di sini, sebagai budak seks, dari lelaki satu, ke lelaki berikutnya.

Aku jelas punya pekerjaan, punya profesi, bukan pengangguran seperti kebanyakan rakyat Indonesia. Buatku, bekerja itu ibadah. Tapi, apakah jika aku berdoa kepada Allah SWT, DIA akan jabahi doaku? Jika doaku tak dijabah, berarti Allah itu hanya mendonasi iradat-Nya kepada orang yang baik-baik saja.

Aku memang hina, aku lemah, aku terdzolimi. Pemahamanku, orang terdzolimi, lebih didengar doanya oleh Tuhan. Artinya lagi, aku pun berhak punya doa. Tapi aku tak tahu, aku harus sholat dan berdoa di mana? Di masjid gak mungkin, jama'ahnya bersinisan kepadaku. Di tempat kost, juga gak bisa, aku dicerca se-isi kost. Aku juga takut berdoa di sana, takut kalau mereka marah dan menghardikku: "Ha? Pelacur berdoa?".

Di manapun aku tinggal, seolah bumi menolak. Manusia menolak. Aku onak, racun. Keberadaanku menghalangi turunnya rejeki dari langit buat mereka. Tapi aku tetap bertahan di sini, tinggal di sini. Toh aku bayar sendiri, uangku sendiri. Secara moral, mereka berhak mengusik-usik tapi secara administrasi dan marketing, tak ada hak mereka mengusirku.

Hinaku ini tiada beda dengan koruptor, aku malah masih punya malu besar. Koruptor tidak!. Setiap penggerebekan, wajahku ini kututup ketat. Sedang koruptor -saat ditangkap KPK- wajahnya malah sengaja ditampak-tampakkan, gak ada malunya. Malah ketawa-ketiwi sambil mejeng di teve-teve, di koran-koran dan di blog-blo, termasuk di blog Kompasiana.

***

Di tempat tinggalku, aku 'suku' terasing, tiada yang ramah padaku, semuanya buang muka, sampai ada yang jongkok tutup muka, saat melihatku. Hanya seorang saja yang baik kepadaku, dialah Uztad Mizan. "Apa kabar?", itu sapanya setiap kali berpapasan denganku. Jangan-jangan Pak Mizan itu, bisa jadi sumber pendapatanku. Bolehlah, asal dia bayar aku. Toh ini profesiku. Atau begini saja, bagaimana kalau aku minta didoakan saja sama Uztad Mizan, agar aku laris.

Sepulang dari tempat kerja, aku bergegas ke rumah Uztad Mizan. Akupun tiba di rumahnya, dipersilakan masuk. "Duduklah", pintanya. Akupun duduk di kursi tamunya, sedang istrinya tergesa-gesa masuk kamarnya, menuntun paksa anak-anaknya akibat kehadiranku. Aku sangat maklum.

***

Uztad, aku mau minta tolong Mau minta tolong apa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun