Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Di Mana Batasan Hukuman Guru kepada Murid?

8 September 2012   06:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:46 1049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Zona pendidikan tanah air tiada putus-putusnya didera problem. Ini perkara terlaporkannya Guru Rohani atas tindak 'pemukulan' terhadap Siti Maesaroh. Kata pemukulan, saya beri tanda kutip, sebab sampai artikel ini terketik, pemukulan itu belum reliable dan belum valid. Komisi Perlindungan Anak Indonesia, pun berang. "Tak ada toleransi bagi kekerasan anak", kilah Maria Ulfa Anshor. (Silakan baca KOMPAS.com)

Orangtua Maesaroh menuntut agar Guru Rohani -Wali Kelas III SD 23 Tugu Utara- segera dimutasi. Nampaknya orangtua Maesaroh jengkel nian dan serius membenci Guru Rohani. Kalaupun Guru Rohani dipindahkan, adakah garansi di tempat barunya tak 'mengulangi' kelakuannya?.

[caption id="attachment_211109" align="aligncenter" width="300" caption="Ibu dari Siti Maesaroh bernama Siti Hanifah melaporkan tindak kekerasan Guru Rohani ke KPAI"][/caption]

Perkara Internal Sekolah

Penulis menilai, perkara kekerasan di SD 23 Tugu Utara itu, murni masalah interen sekolah. Begitu tak berharganyakah organisasi di sekolah ini, hingga anak didik tersebut melewati kewenangan sekolah?. Apakah tiada aturan; anak didik melaporkannya ke pihak sekolah bila sewaktu-waktu terjadi kekerasan misalnya pemukulan, pencubitan, bentakan, hardikan, dan beragam bullying lainnya?. Mengapa anak didik memilih melaporkan ke orangtuaya?.

* * *

Selanjutnya, dimanakah sebenarnya batasan hukuman yang dapat ditoleransi terhadap murid?. Ataukah memang perihal hukuman tidak ter-standardisasi hingga bentuk hukuman tergantung kepada individu guru masing-masing?. Di samping itu, bukankah hukuman itu juga bagian dari sebuah pendidikan?. Bahkan mendikbudpun Muhammad Nuh menegaskan bahwa hukuman fisik dari seorang guru sah-sah saja.

Ataukah, pilihan terbaik adalah membiarkan anak-anak itu berbuat semaunya?. Ah, ingatanku melambung jauh akan sebuah ucapan seorang guru di sebuah daerah: "Guru terjepit, sedikit-sedikit dilapor. Muridku yang menendang bola di ruangan kelas, saya hanya membiarkannya. Saya takut diapor". Pengakuan guruini, murid-muridnya semakin manja, kurang mandiri dan sering menciptakan masalah, sebab hukuman tak ada lagi di sekolahku, ucapnyasarat kesedihan.

Tawaran

Demi menjaga berpeluangnya hukuman fisik yang berlebihan, maka saya tawarkan kepada pihak sekolah agar:

- Mendefinisikan dengan ketat ruang lingkup hukuman dan jenis-jenis pelanggaran yang dapat mengakibatkan terhambatnya proses belajar bagi setiap siswa.

- Mengundang orangtua murid untuk berdialog dan mendeklarasikan aturan-aturan yang konkrit dengan kriteria yang tidak multi interpretasi. Contoh teranyar, jenis hukuman apa yang diberikan kepada murid jika tak mengerjakan PR, terlambat masuk kelas atau membolos.

- Sebaiknya diselesaikan dulu secara internal dan kekeluargaan, sebab saya juga tak sependapat jika orangtua murid terlalu memudah-mudahkan diri untuk melaporkan guru ke lembaga tertentu. Ini sebuah apresasi FORCE kepada para guru. Di lain sisi, guru, murid, dan orangtua sama-sama memiliki hak untuk dilindungi sebagai warga negara.

Berkacalah...!!!

Tiada orang yang relakan anak-anaknya menjumput tindak kekerasan di sekolahnya, orangtua titip anak di sekolah untuk diajar bukan dipukuli, dimaki, dihardik, disumpahi, dicubit, dibentak dan direndah-rendahkan. Penulis sangat menyetujui pernyataan ini. Namun apa yang terjadi, orangtua muridpun sangat keseringan mengritik guru-guru di sekolah atas perlakuan-perlakuan yang tak edukatif walau susungguhnya orangtuapun kerap membentak, menghardik, mencubit dan menghukum putra-putrinya di rumah mereka. Sebuah ironi pendidikan yang menggunakan standar ganda.

Sebuah pernyataan dari seorang ibu: "Saya menghukumnya, wajar dong. Toh ini anakku". Bagaimana jadinya jika Guru Rohani juga berkata: "Saya hukum anak ibu karena tak mengerjakan PR. Toh ini muridku".

* * *

Bijaksana jika berkaca di rumah lebih dini, sebelum melempar pandangan dari balik jendela rumah kita. Sebab, kemungkinan besar telah terjadi kekerasan psikis dan fisik di rumah kita sebelum anak-anak kita menjumpai tindak kekerasan di sekolahnya. Dan pelakunya adalah kita.

Entahlah.....!!!^^^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun