- Mengundang orangtua murid untuk berdialog dan mendeklarasikan aturan-aturan yang konkrit dengan kriteria yang tidak multi interpretasi. Contoh teranyar, jenis hukuman apa yang diberikan kepada murid jika tak mengerjakan PR, terlambat masuk kelas atau membolos.
- Sebaiknya diselesaikan dulu secara internal dan kekeluargaan, sebab saya juga tak sependapat jika orangtua murid terlalu memudah-mudahkan diri untuk melaporkan guru ke lembaga tertentu. Ini sebuah apresasi FORCE kepada para guru. Di lain sisi, guru, murid, dan orangtua sama-sama memiliki hak untuk dilindungi sebagai warga negara.
Berkacalah...!!!
Tiada orang yang relakan anak-anaknya menjumput tindak kekerasan di sekolahnya, orangtua titip anak di sekolah untuk diajar bukan dipukuli, dimaki, dihardik, disumpahi, dicubit, dibentak dan direndah-rendahkan. Penulis sangat menyetujui pernyataan ini. Namun apa yang terjadi, orangtua muridpun sangat keseringan mengritik guru-guru di sekolah atas perlakuan-perlakuan yang tak edukatif walau susungguhnya orangtuapun kerap membentak, menghardik, mencubit dan menghukum putra-putrinya di rumah mereka. Sebuah ironi pendidikan yang menggunakan standar ganda.
Sebuah pernyataan dari seorang ibu: "Saya menghukumnya, wajar dong. Toh ini anakku". Bagaimana jadinya jika Guru Rohani juga berkata: "Saya hukum anak ibu karena tak mengerjakan PR. Toh ini muridku".
* * *
Bijaksana jika berkaca di rumah lebih dini, sebelum melempar pandangan dari balik jendela rumah kita. Sebab, kemungkinan besar telah terjadi kekerasan psikis dan fisik di rumah kita sebelum anak-anak kita menjumpai tindak kekerasan di sekolahnya. Dan pelakunya adalah kita.
Entahlah.....!!!^^^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H