Saya dikagetkan dengan sebuah telpon dari seorang dokter yang juga sahabat saya. Ia minta solusi atas problem yang tengah ia hadapi, saya bertanya problem apakah gerangan sobat?. Iapun mengirimi saya pesan singkat, pesan yang berisi dialog antara dia dengan seorang wartawan di salah satu harian di Kota Makassar:
-------------------------------------
"Maaf Bung. Ini (menuliskan nama), wartawan Harian ......., Makassar"
"Ada apa Pak?"
"Saya telah memperoleh data-data tentang keterlibatan Anda di proyek Desa Siaga Dinas Kesehatan"
"Data yang mana?"
"Data tentang kongkalikong SPPD ke daerah yang Anda lakukan"
"Ada buktinya?"
"Yah adalah Bung"
"Terus masalahnya dimana?"
"Masalahnya, Anda menggunakan SPPD itu tak sesuai peruntukannya?"
"Tidak sesuai bagaimana?"
"Anda ke daerah untuk mengkampanyekan seorang kandidat Bupati karena Anda tim sukses"
"Loh, apa salahnya?. Saya kan tetap melakukan kegiatan diseminasi Desa Sehat?"
"Iya, Anda memang lakukan itu tetapi hanya sebentar"
"Loh, kegiatan diseminasi itu selesai sesuai prosedur, tujuan dan lokasi kok"
"Anda jangan remehkan wartawan. Saya akan tulis besar-besar di koran. Anda gunakan SPPD Dinas Kesehatan untuk kampanye. Ingat, Anda PNS, aturannya tidak boleh terlibat dalam politik praktis"
"Jangan begitu. Saya cuma simpatisan"
"Apapun itu, Anda melanggar aturan, PNS dilarang ikut politik praktis. Besok silakan baca koran saya. Anda akan menjadi berita utama"
"Saudara akan merusak masa depan saya"
"Masa depan Anda tergantung Anda, relakah masa depan Anda rusak?
"Ya tidaklah Pak!"
"Oke-oke, saya tawarkan solusi?
"Solusi yang bagaimana?"
"Pastikan sebuah motor Suzuki Thunder baru terparkir di depan rumah saya"
"Kok begitu Pak?"
"Terserah Anda, yang jelas saya berikan waktu sampai jam 5 sore. Jika pesanan saya itu tidak dipenuhi. Itu risiko Anda"
"Terserah Anda juga. Yang penting saya tidak melakukan penyalahgunaan SPPD"
"Oke-oke, itu menurut Anda. Pikirkan baik-baik, apapun yang Anda akan lakukan jika nama Anda sudah beredar di media, pembaca dan masyarakat menilai Anda seorang PNS yang tidak beres. Hati-hati dengan wartawan Bung"
"Saudara mau memeras saya"
"Bukan memeras Bung. Saya ajak atur damai tapi Anda tidak mau"
-------------------------------------
Saya membaca dialog ini dengan termangu-mangu, nafas sedikit tersengal dan cukup bingung solusi apa yang hendak saya katakan kepada sahabat saya ini?. Sembari berpikir-pikir, ingatan saya tertuju kepada super kontraversi akan diberlakukannya tata tertib terhadap wartawan di gedung DPR-RI. Sejak awal saya tak respek dengan kebijakan atas rancangan peraturan peliputan oleh juranalis/wartawan.
Namun, setelah menyimak kasus ini, saya kok tiba-tiba memaklumi anggota dewan -yang terhujat dan sarat kritikan- itu untuk membuatkan tata tertib kepada wartawan-wartawan kita.
Walau rancangan itu dianggap lebay, saya tidak terpaku dengan rancangan tatib itu tetapi saya menelikung pandangan kepada Kode Etik Jurnalistik yang kadang tidak aktif kepada seseorang yang berprofesi sebagai wartawan. Dengan kasus yang penulis paparkan di atas, hanya satu ucapan tanya di akhir artikel ini: Beginikah Wartawan Kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H