"Masa depan Anda tergantung Anda, relakah masa depan Anda rusak?
"Ya tidaklah Pak!"
"Oke-oke, saya tawarkan solusi?
"Solusi yang bagaimana?"
"Pastikan sebuah motor Suzuki Thunder baru terparkir di depan rumah saya"
"Kok begitu Pak?"
"Terserah Anda, yang jelas saya berikan waktu sampai jam 5 sore. Jika pesanan saya itu tidak dipenuhi. Itu risiko Anda"
"Terserah Anda juga. Yang penting saya tidak melakukan penyalahgunaan SPPD"
"Oke-oke, itu menurut Anda. Pikirkan baik-baik, apapun yang Anda akan lakukan jika nama Anda sudah beredar di media, pembaca dan masyarakat menilai Anda seorang PNS yang tidak beres. Hati-hati dengan wartawan Bung"
"Saudara mau memeras saya"
"Bukan memeras Bung. Saya ajak atur damai tapi Anda tidak mau"
-------------------------------------
Saya membaca dialog ini dengan termangu-mangu, nafas sedikit tersengal dan cukup bingung solusi apa yang hendak saya katakan kepada sahabat saya ini?. Sembari berpikir-pikir, ingatan saya tertuju kepada super kontraversi akan diberlakukannya tata tertib terhadap wartawan di gedung DPR-RI. Sejak awal saya tak respek dengan kebijakan atas rancangan peraturan peliputan oleh juranalis/wartawan.
Namun, setelah menyimak kasus ini, saya kok tiba-tiba memaklumi anggota dewan -yang terhujat dan sarat kritikan- itu untuk membuatkan tata tertib kepada wartawan-wartawan kita.
Walau rancangan itu dianggap lebay, saya tidak terpaku dengan rancangan tatib itu tetapi saya menelikung pandangan kepada Kode Etik Jurnalistik yang kadang tidak aktif kepada seseorang yang berprofesi sebagai wartawan. Dengan kasus yang penulis paparkan di atas, hanya satu ucapan tanya di akhir artikel ini: Beginikah Wartawan Kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H