JIKA terhambat menulis di awal, mundur ke tengah. Bila masih gagal juga, larilah ke buritan. Dorong tulisan itu dari belakang. Inilah yang disebut teknik 'buritan perahu' ala Muhammad Armand. Jangan coba-coba paksakan 'membuka' tulisan di awal bila itu hanya menjadi penyumbat aliran artikel. Sesungguhnya itu pula, akan menggerus emosi.
[caption id="attachment_387114" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: 1ms.net"][/caption]
Kutaklagi mengada-ada, trik ini telah lama kulakukan. Hasilnya fantastis, saya selalu bisa terlepas dari monster kebuntuan dan rupa-rupa lilitan kesukaran menulis di Kompasiana ini. Kelewat egolah saya, bila tak mengabar-beritakan kepada kawan-kawanku di media milik bersama ini.
Artikel ini lahir setelah tergamit tanya dari dua Kompasianer; Teguh Suprayogi dan Fidelis Harefa: "Kasih tahu dong teknik menulisnya". Jawabku untuk kedua sahabat itu: "Langsung tuliskan intinya, selanjutnya sisa dipoles. Pakai teknik perahu, tuas energi tulisan dari belakang". Syukurlah, Fidelis Harefa sudah menulis lagi setelah setahun pasif, saya terharu saat sahabat ini berkata: "Bang, saya menulis lagi berkat teknik perahu yang abang katakan".
***
Kelewat lama bermain di awal tulisan, hanya akan membebani, ter-stagnan dan berpotensi merongrong kekuatan menulis sekaligus melemahkan motivasi, spirit dan akhirnya menyerah sebelum menulis sebaris kalimat. Menulis dengan sistematis (awal-tengah-akhir) adalah kebiasaan umum. Kebiasaan umum inilah hingga sekawanan penulis mengeluh: "Harus mulai dari mana ya?". Tanya mereka tak berjawab, tepi-tepinya mereka mundur dan mereka tak mulai-mulai menulis dikarenakan 'dogmanya' harus mulai dari awal.
Hijrah
Menulis itu memanglah 'persoalan', kurang diperkenankan menulis serampangan, apalagi sembarangan. Menulis itu seni, butuh kekuatan 'kesenian', termasuk seni menyelesaikan problematika dalam kepenulisan. Jangan terlena di hambatan semisal formulasi paragraf awal. Hijrahlah ke zona lain -solusi, cara, metode- dalam menuntaskan tulisan itu. Sebab, tak menuntaskan sebuah tulisan yang telah direncanakan, justru akan mengorbitkan 'patah hati' dan 'penyakit' ringan. Sekali lagi, hijrahlah!
Perkara penggalan-penggalan yang dirasa terlupakan, sesungguhnya itu tak terlupakan, ia tetap menginap di memori otak. Nanti juga, kita akan punguti 'atu-atu' dan ia akan terkoneksi dengan nukleus artikel. Ini daya dorong, hingga Kompasianer Makassar ini -alhamdulillah- sangat jarang bersusah-payah untuk melayangkan sebuah opini ataupun fiksi. Â Amatilah dengan cermat bahwa fase tersulit menulis itu berada pada interval 200-300 word count. Melewati rentang ini, percayalah tulisan itu, mengalir deras, tiada hambatan psikologis lagi yang signifikan.
Bergelombang
Tiada penulis yang sanggup memastikan, di manakah sebetulnya inti tulisan itu. Sebab semuanya adalah inti, pun semuanya juga bukan inti. Bahasa kekinianku adalah tulisan itu ditamsilkan gelombang, dan itulah seni melayari gelombang tulisan. Â Tiada perlu kaku-beku dalam menulis, itu akan mematikan. Susuri saja! Semua akan baik-baik saja, lancar-lancar saja dan bahagia-bahagia saja. Jangan pernah tulisan itu membuat kita 'sakit' sebab ini berkutuban dengan visi-misi menulis yakni menulis demi kesehatan; jiwa-raga.
Tak adillah Tuhan jika menulis itu justru membuat sakit, sebab menulis itu adalah racikan-racikan obat, bejana terapi. Malahpun, menulis itu sebagai media penyembuhan/rehabilitasi. Sungguhlah menulis itu mengasyikkan, dirindui, diharap-harap dan bagian dari zona kenikmatan hidup. Menulis adalah nutrisi batiniah, herbal, TOGA dan obat alternatif. Menulis itu o2, bukan Co2, bukan pula racun. Sistem respiratori begitu nyaman manakala stok oksigen selalu tersedia dan adequat. Nyaman, plong dan memuaskan! Sebab, segala itu adalah art and satisfaction. Pulalah, sosialisasi diri, interaksi diri kepada orang lain (pembaca, red) dan self esteem.
Gregetan Lihat Dermaga
Saya bukan hanya seorang Kompasianer, tetapi saya juga sebagai silent researcher atas tulisan-tulisan kawan-kawan. Tiada sedikit artikel, dipermula dengan sangat baiknya, di tengahnya pun sangat baik, bertenaga. Sayang sekali, di penghujung artikel, malah melemah. Ini konsekuensi logis atas 'gregetan lihat dermaga'. Ia begitu lepas kendali akibat kegirangan akan tulisannya segera sandar, sampai dan tuntas-berakhir. Inilah 'penyakit' populer di sekauman penulis di Kompasiana ini. Tapi sedikit yang menaklukkannya. Sebaliknya, merekalah yang tertakluk dan 'terdzolimi'.
Saking girangnya, seolah ia ingin lompat dari 'perahu tulisan'. Padahal di penutup artikel, di sanalah seharusnya tulisan diselesaikan dengan cermat, disarikan pesan-pesan, dimunculkan wacana, pembelajaran, makna, hakikat dan magma postingan. Sebab, suasana sudah tenang, rileks, adem. Tiada lagi gelombang yang serius yang sanggup mengoleng-olengkankan 'perahu artikel'
***
Asaku, artikel ini menggamit rasa bahagia dan berbuah manfaat bagi kawan-kawan seluruhnya. Selamat menulis. Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H