Tak adillah Tuhan jika menulis itu justru membuat sakit, sebab menulis itu adalah racikan-racikan obat, bejana terapi. Malahpun, menulis itu sebagai media penyembuhan/rehabilitasi. Sungguhlah menulis itu mengasyikkan, dirindui, diharap-harap dan bagian dari zona kenikmatan hidup. Menulis adalah nutrisi batiniah, herbal, TOGA dan obat alternatif. Menulis itu o2, bukan Co2, bukan pula racun. Sistem respiratori begitu nyaman manakala stok oksigen selalu tersedia dan adequat. Nyaman, plong dan memuaskan! Sebab, segala itu adalah art and satisfaction. Pulalah, sosialisasi diri, interaksi diri kepada orang lain (pembaca, red) dan self esteem.
Gregetan Lihat Dermaga
Saya bukan hanya seorang Kompasianer, tetapi saya juga sebagai silent researcher atas tulisan-tulisan kawan-kawan. Tiada sedikit artikel, dipermula dengan sangat baiknya, di tengahnya pun sangat baik, bertenaga. Sayang sekali, di penghujung artikel, malah melemah. Ini konsekuensi logis atas 'gregetan lihat dermaga'. Ia begitu lepas kendali akibat kegirangan akan tulisannya segera sandar, sampai dan tuntas-berakhir. Inilah 'penyakit' populer di sekauman penulis di Kompasiana ini. Tapi sedikit yang menaklukkannya. Sebaliknya, merekalah yang tertakluk dan 'terdzolimi'.
Saking girangnya, seolah ia ingin lompat dari 'perahu tulisan'. Padahal di penutup artikel, di sanalah seharusnya tulisan diselesaikan dengan cermat, disarikan pesan-pesan, dimunculkan wacana, pembelajaran, makna, hakikat dan magma postingan. Sebab, suasana sudah tenang, rileks, adem. Tiada lagi gelombang yang serius yang sanggup mengoleng-olengkankan 'perahu artikel'
***
Asaku, artikel ini menggamit rasa bahagia dan berbuah manfaat bagi kawan-kawan seluruhnya. Selamat menulis. Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H