KOLOM: Tedjo Sindir Presiden Joko Widodo
Oleh: Muhammad Armand
KEPADAKU, ucapan senonoh Menteri Tedjo itu amatlah bersayap. "Rakyat Tak Jelas", menjadi super mainstream, saat ini. Â Faktual sekali ucapan pak menteri ini. Walau kuyakini, Pak Tedjo tiada tahu bila ucapannya itu kukonversi dalam 'ke-sufi-an'. Kutelisiklah diri ini, lha kusuai diriku sebagai akademisi, ya memang tiada jelas. Dosen sepertiku, telah 'ditampar habis' oleh Menteri Tedjo. Kerap kuumumkan kepada mahasiswaku, besok mid test. Eh, saya batalkan tanpa alasan yang pasti.
[caption id="attachment_393303" align="aligncenter" width="300" caption="www.kompas.com"][/caption]
Kutingkatkan lagi sindiran Menteri Tedjo ini, ke level kebijakan negara. Hemmmm, ini jelas mengarak ke Presiden Joko Widodo, naik-turunnya harga BBM membuat putraku 'bertengkar' dengan sopir angkot. "Tambah seribu Dek!", bentak ringan sopir angkot itu. Putraku membalas ucap: "Turunmi BBM Pak". Putraku berlalu, angkot berlalu, keduanya kesal. Ini fakta ringan efek domino kebijakan Presiden Joko Widodo. Kebijakan naik BBM, itu jelas. Turunnya BBM lagi, itu juga jelas. Alasan naik-turunnyalah yang tidak jelas. Saya voter Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kalla, tetapi tak harus latah. Bila tiba waktunya bersuara via Kompasiana, ya bersuara. Saat harus diam, ..ya diam sambil menenangkan diri. Perkara ketidakjelasan Presiden Joko Widodo, Anda bisa membuatkan daftar di sini. Kiranya halaman Kompasiana, tiada cukup untuk mengartikulasikan "Tidak Jelasnya" seorang Joko Widodo. Dan, inilah magnet Joko Widodo, disindir depan-belakang, atas-bawah, samping kiri-samping kanan. Ia tetap dalam wujud aslinya yang sabaran-tenang-humanity-humble. Ada semacam tabiat paradoksal dengan pendukungnya. hahaha
Gampang bener tersinggung!
Fakta lain terkuak, bangsa Indonesia ini, gampang bener tersinggung. Bangsa lain pun demikian, bedanya tidak mudah hanyut, tergiring luapan emosional. Kita bermental 'daun kering' (mudah tersapu, terbakar dan tersobek), kita enggan memilih mental 'daun basah' yang cukup sulit untuk terkoyak, robek dan terbawa angin. Daun yang satu ini, demikian sabarnya dalam kebasahan, tenang dan berdiam diri sembari membersih-bersihkan diri (baca: merenung dalam diam).
Indonesia ini industri emosional, pabrik uring-uringan. Indonesia adalah pangsa pasar potensial untuk urusan perpecahan agama dan etnik. Kelewat rapuh bangsa ini, sesungguhnya. Nampak di peluput mata dunia, Indonesia itu besar, padahal sesungguhnya kecil (bila enggan disebut kerdil, red). Apa yang salah dengan 'ketimuran' ini? Ketimuran kita, pun sangat meluas. Ya sopan, ramah dan kadang barbarik-anarkistis. Kompleks juga!
Ucapan menteri Tedjo itu, tiada baik-baiknya. Itu memang fakta. Bahwa kita juga merespon ucapan itu dengan selaksa bully, pun kita terperangkap dalam duka: 'tiada baik-baiknya'. Jadilah impas! Seri! Deuce!
Apa Salahnya
Olok-olokan itu telah tersaji. Dihidang oleh Menteri Tedjo bersama keluarganya. Motto dunia yang kita gunakan adalah: "Ada api, ada asap. Ada asap, ada api". Kita pun terpanggang-terbakar-gosong. Teramat sayang, kita sungguh berani memakai slogan ini untuk urusan cerai-berai, perkara negatif dan zona 'perkelahian panjang'. Dan, artikel ini pun bisa digelari artikel tidak jelas, karena terapresiasi oleh 'meme' Rakyat Tak Jelas.
Walau, sesungguhnyalah artikel ini, berhasrat untuk menginvitasi visitor/pembaca bahwa rentan reaksi terhadap ucapan dan peristiwa, tiada absolut menghadirkan kebaikan. Barangkali kita butuh terminal, untuk destinasi beberapa saat, bahwa ucapan Menteri Tedjo itu adalah proposal perbaikan mentalitas kita, lamaran revolusi mental.
Apa salahnya bila 'kelakar' Menteri Tedjo iti, kita jadikan  azimat, untuk memagari diri atas frekuensi emosi yang berlebihan. Ibaratkan saja menteri Tedjo itu seorang istri yang cerewet, dan kita berdoa agar kita sebagai 'suami' diberi kekuatan melayani dengan baik akan seorang istri yang cerewet. Sebab istri cerewet itu anugrah, karena ia sanggup secara otomatis memerhatikanmu dengan detailnya, dari A to Z.
Dan, jangan sampai kita tetap dalam prestasi dunia, diberi titel Si Tukang Emosi Negatif, termasuk saya. Rasa-rasanya, kita ini memang setia dengan karakter uring-uringan, peka sekali, sensitif banget. Tak salah bila tetanggaku berkata: Indonesia ini, negeri emosi, kurang solusi.
Sebuah Kisah
Pada sebuah ibadah Jum'ah, dua anak bukan main gaduhnya. Saat mendirikan sholat Jumat, kedua anak tanggung itu, masih juga gaduh. Mereka di belakang seorang pria, usia 40-an. Lelaki itu tiada khusyuk-khusyuknya, menunggu berakhirnya sholat, dia hendak memarahi kedua anak itu. Apa yang terjadi? Pria itu malah bergegas berbalik dan menyalami kedua anak itu dengan penuh senyum ketulusan. Pria itu sungguh beruntung karena sukses merayu emosinya.
Pekan depannya, ibadah Jumat lagi, pria itu bertemu kedua anak tukang ribut dan cerewet itu. Tiada lagi keributan seperti Jumat sebelumnya, kedua anak itu demikian tenang. Ini sungguh sebuah perubahan attitude tanpa kekerasan dan kemarahan. Begitu itulah, sebetulnya yang diinginkan agama, agama apapun itu^^^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H