Walau, sesungguhnyalah artikel ini, berhasrat untuk menginvitasi visitor/pembaca bahwa rentan reaksi terhadap ucapan dan peristiwa, tiada absolut menghadirkan kebaikan. Barangkali kita butuh terminal, untuk destinasi beberapa saat, bahwa ucapan Menteri Tedjo itu adalah proposal perbaikan mentalitas kita, lamaran revolusi mental.
Apa salahnya bila 'kelakar' Menteri Tedjo iti, kita jadikan  azimat, untuk memagari diri atas frekuensi emosi yang berlebihan. Ibaratkan saja menteri Tedjo itu seorang istri yang cerewet, dan kita berdoa agar kita sebagai 'suami' diberi kekuatan melayani dengan baik akan seorang istri yang cerewet. Sebab istri cerewet itu anugrah, karena ia sanggup secara otomatis memerhatikanmu dengan detailnya, dari A to Z.
Dan, jangan sampai kita tetap dalam prestasi dunia, diberi titel Si Tukang Emosi Negatif, termasuk saya. Rasa-rasanya, kita ini memang setia dengan karakter uring-uringan, peka sekali, sensitif banget. Tak salah bila tetanggaku berkata: Indonesia ini, negeri emosi, kurang solusi.
Sebuah Kisah
Pada sebuah ibadah Jum'ah, dua anak bukan main gaduhnya. Saat mendirikan sholat Jumat, kedua anak tanggung itu, masih juga gaduh. Mereka di belakang seorang pria, usia 40-an. Lelaki itu tiada khusyuk-khusyuknya, menunggu berakhirnya sholat, dia hendak memarahi kedua anak itu. Apa yang terjadi? Pria itu malah bergegas berbalik dan menyalami kedua anak itu dengan penuh senyum ketulusan. Pria itu sungguh beruntung karena sukses merayu emosinya.
Pekan depannya, ibadah Jumat lagi, pria itu bertemu kedua anak tukang ribut dan cerewet itu. Tiada lagi keributan seperti Jumat sebelumnya, kedua anak itu demikian tenang. Ini sungguh sebuah perubahan attitude tanpa kekerasan dan kemarahan. Begitu itulah, sebetulnya yang diinginkan agama, agama apapun itu^^^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H