Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perspektif Bahagia dan Kompasiana

31 Januari 2015   19:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:02 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_394217" align="aligncenter" width="300" caption="Era post-modern, cekikikan itu barang langka. Namun, saya bisa tertawa lepas dan simetris di sini (foto: Kompasianer Gapey Sandy)"][/caption]

------------------------------------------------

CERMIN: Perspektif Bahagia dan Kompasiana

Oleh: Muhammad Armand

Tulisanmu cantik-cantik di Kompasiana, ucapku kepada seorang Kompasianer

Alhamdulillah...terima kasih, balasnya.

Cobalah menulis di koran!, ajakku

Saran yang baik, saya masih suka di sini, di Kompasiana, tegasnya

Andai kamu menulis di koran selama ini, bisa dibayangkan penghasilanmu rata-rata tiga juta per bulan. Karena sepuluh saja tulisanmu dimuat di koran dalam sebulan dengan bayaran tiga ratus ribu per tulisan, totalnya tiga juta bukan? Wah penghasilan yang menggiurkan. Di koranpun, kamu  tak perlu repot membalas komentar-komentar. Jadi kamu efisiensi waktu, tenaga dan pikiran! Saat tulisanmu diangkat di koran, namamu pun terangkat, disegani, terkenal.

Terus?

Penghasilanmu dari menulis, kamu bisa belikan kendaraan, bahkan bisa beli lebih dari itu. Pokoknya kamu bisa bahagia dari pendapatan menulis.

Oh begitu. Ujung-ujungnya soal bahagia, bukan?

Ya iyalah kawan!

Lalu, apa yang kamu amati sekarang terhadapku selaku Kompasianer?

Aku amati gak ada apa-apa!

Kamu keliru sobat, ajakanmu kepadaku agar berbahagia sudah terlambat sekali. Karena bahagiaku itu sudah lama terpatri di batinku sebagai penulis di Kompasiana, memang kubutuh uang, tapi itu bukan segalanya bagiku. Banyak hak terselubung yang kadang kita tak mampu konversi menjadi kebahagiaan. Bukankah menulis di blog, kita sanggup bersilaturahmi sesama penulis? Kita dikoneksikan satu sama lain, bukankah itu kekayaan? Rejeki itu misteri Allah, dan ketika saya ke Jakarta, sahabat-sahabat Kompasianaku sudah antri tawarkan untuk menjemputku, tawarkan rumahnya untuk kuinapi. Lantas, kutepiskah kebahagiaan dengan semua ini? Oh tidak, kawan! Kusudah bahagia di sini! Sebab, Allah selalu punya metode untuk membahagiakan dan menyenangkan hamba-hambaNya.

***

Ucapan panjang kawanku ini, telah cukup membuatku bungkam. Aku telah khilaf persepsi akan makna kebahagiaan. Teramat konsistenku menilai kebahagian itu. Sebab bagiku materi itu, jalan tol menuju bahagia. Ternyata anggapanku absurd, tak mutlak benar. Maafkan aku sobat!^^^

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun