[caption id="attachment_394217" align="aligncenter" width="300" caption="Era post-modern, cekikikan itu barang langka. Namun, saya bisa tertawa lepas dan simetris di sini (foto: Kompasianer Gapey Sandy)"][/caption]
------------------------------------------------
CERMIN: Perspektif Bahagia dan Kompasiana
Oleh: Muhammad Armand
Tulisanmu cantik-cantik di Kompasiana, ucapku kepada seorang Kompasianer
Alhamdulillah...terima kasih, balasnya.
Cobalah menulis di koran!, ajakku
Saran yang baik, saya masih suka di sini, di Kompasiana, tegasnya
Andai kamu menulis di koran selama ini, bisa dibayangkan penghasilanmu rata-rata tiga juta per bulan. Karena sepuluh saja tulisanmu dimuat di koran dalam sebulan dengan bayaran tiga ratus ribu per tulisan, totalnya tiga juta bukan? Wah penghasilan yang menggiurkan. Di koranpun, kamu  tak perlu repot membalas komentar-komentar. Jadi kamu efisiensi waktu, tenaga dan pikiran! Saat tulisanmu diangkat di koran, namamu pun terangkat, disegani, terkenal.
Terus?
Penghasilanmu dari menulis, kamu bisa belikan kendaraan, bahkan bisa beli lebih dari itu. Pokoknya kamu bisa bahagia dari pendapatan menulis.
Oh begitu. Ujung-ujungnya soal bahagia, bukan?
Ya iyalah kawan!
Lalu, apa yang kamu amati sekarang terhadapku selaku Kompasianer?
Aku amati gak ada apa-apa!
Kamu keliru sobat, ajakanmu kepadaku agar berbahagia sudah terlambat sekali. Karena bahagiaku itu sudah lama terpatri di batinku sebagai penulis di Kompasiana, memang kubutuh uang, tapi itu bukan segalanya bagiku. Banyak hak terselubung yang kadang kita tak mampu konversi menjadi kebahagiaan. Bukankah menulis di blog, kita sanggup bersilaturahmi sesama penulis? Kita dikoneksikan satu sama lain, bukankah itu kekayaan? Rejeki itu misteri Allah, dan ketika saya ke Jakarta, sahabat-sahabat Kompasianaku sudah antri tawarkan untuk menjemputku, tawarkan rumahnya untuk kuinapi. Lantas, kutepiskah kebahagiaan dengan semua ini? Oh tidak, kawan! Kusudah bahagia di sini! Sebab, Allah selalu punya metode untuk membahagiakan dan menyenangkan hamba-hambaNya.
***
Ucapan panjang kawanku ini, telah cukup membuatku bungkam. Aku telah khilaf persepsi akan makna kebahagiaan. Teramat konsistenku menilai kebahagian itu. Sebab bagiku materi itu, jalan tol menuju bahagia. Ternyata anggapanku absurd, tak mutlak benar. Maafkan aku sobat!^^^