[caption id="attachment_399048" align="aligncenter" width="545" caption="sumber: Shutterstock"][/caption]
LAMA sudah tak menuliskan artikel sekaitan dengan duniaku, yakni artikel kedokteran dan kesehatan masyarakat. Penulis tergamit menuliskan ini setelah membesuk kolega yang lari dari rumah sakit, mencabut selang infuse-nya karena terprovokasi oleh keluarganya. Pasien itu terhasut ketika ibunya berteriak, "Rumah sakit apa ini! Tidak becus! Lebih baik keluar dari sini! Orang mau sehat, malah tambah sakit. Parah!"
Bila Anda ingin saksikan orang marah-marah, datanglah ke rumah sakit. Belum ada riset resmi apa saja motif keluarga pasien di rumah sakit sering marah-marah. Namun sasaran kemarahannya sudah teramati olehku yakni kepada perawat, satpam, bahkan dokter. Esensinya marah atas layanan kesehatan (health service). Ini fenomena menarik bagi penulis yang bergelut dalam dunia kesehatan masyarakat, ini berkorelasi dengan aspek 'kejiwaan', unsur emosional dan pakem kultur.
Padahal, kita sangat alpa, kita amat lupa bahwa salah satu faktor kesembuhan pasien yang notabene adalah keluarga kita sendiri adalah social support. Dukungan sosial itu adalah keluarga pasien itu sendiri, ya suami, istri, paman, bibi, dan seterusnya. Apa lacur, dunia layanan medis kita di pusat-pusat pengobatan marak diwarnai aksi kekerasan verbal. Ini iklim sungguh tak bisa dibiarkan begitu saja, mesti dicarikan solusi karena ingin rumah sakit kita tetap 'sehat' dan nyaman.
Bukan Membela Dokter
Layanan publik serupa rumah sakit identik dengan layanan publik lainnya, rawan komplain dan kritik. Hanya satu perbedaan yang ekstrim, rumah sakit sebagai layanan kesehatan yang homogen yakni manusia pasif, orang tak berdaya dan fungsi sosialnya untuk sementara sedang dicabut. Ya, rumah sakit melayani orang yang tak sehat, sedang layanan publik lainnya memfokuskan diri untuk orang-orang yang tidak sakit alias normal dan fungsi sosialnya masih ON karena masih sanggup bergaul, bergerak dengan leluasa, dan berbicara dengan sempurna tanpa didampingi botol-botol infuse dan tabung oksigen dan seperangkat alat elektronik rumah sakit.
Banyak dokter dan perawat terhakimi di rumah sakit, penghakiman itu dilakukan keluarga pasien. Lagi-lagi ini atmosfir rumah sakit yang kurang segar, dan sepertinya 'adat-kebiasaan' ini amat sulit lenyap di zona layanan rumah sakit kita. Tingkat kepuasan keluarga pasien amatlah rendah, tak sabaran dan kerap tunjukkan status sosial di hadapan layanan rumah sakit.
Orang berpangkat dan orang berduit atau bangsawan seolah ingin berkata, "Kalian tahu siapa saya?", sedang orang miskin mengeluh atas kemiskinannya, seolah rumah sakit membedakan antara si kaya dan si miskin. Sisi lain, mereka tak paham bahwa pangkat, jabatan, kaya, miskin, kepercayaan/agama, jenis kelamin, ras, etnik, warna kulit. Semua sama derajatnya di hadapan layanan kesehatan, ini sabda Bapak Kedokteran, Hypocrates.
Lalu, dokter dikritik 'di belakang', katanya hanya datang 5-10 menit, pasang stetoskop, tanya-tanya pasien. Apa-apaan? Kata keluarga pasien. Saya tak membela dokter dan perawat di sini, itulah SOP layanan kesehatan di rumah sakit. Itu normal, itu sesuai aturan bahwa dokter tak diizinkan berlama-lama berinteraksi dengan pasien di rumah sakit. Mereka itu 'mesin', bekerja sesuai mekanisme. Durasi 5-10 menit itu, terasa singkat untuk keluarga pasien, namun sudah kelewat lama bagi seorang penyembuh profesional serupa dokter. Kenapa? Karena mereka telah pelajari soal-soal diagnosa, anamnese, patologi, mikrobiologi, anatomi, faal, nematoda, ilmu penyakit umum, di saat mereka menjadi mahasiswa kedokteran, berlanjut ke coass (assisten dokter), mereka menempuh dua tahap pendidikan kedokteran: praklinik dan kepaniteraan klinik.
Hakikatnya apa? 'Visit' pasien itu telah cukup dengan durasi 5-10 menitan, mereka profesional atas lamanya mereka ditempa di pendidikan kedokteran. So, ini penjelasanku kepada keluarga pasien atas komplainnya lama kunjungan dokter ke pasien. Rupanya keluarga pasien dan masyarakat kita memang masihlah awam soal profesi kedokteran. Ini tugas IDI (Ikatan Dokter Indonesia) untuk aktif sosialisasikan akan aktivitas seorang dokter dan aneka informasi (profil) kinerja dokter di rumah sakit.
Semua Ingin Cepat Dilayani
Manusiawi itu bila setiap orang ingin cepat dilayani, dan sebagai keluarga tak perlu gregetan dan ketus sebab layanan rumah sakit memiliki response time(lama menunggu). Ambang batas response time ini sekitar 15-25 menit, bila melewati margin ini, keluarga pasien wajib tanyakan kenapa melewati batas waktu menunggu untuk dilayani. Pihak rumah sakit pasti bisa memberikan penjelasan dan alasan yang rasional, bisa jadi rumah sakit sedang 'gawat darurat', mendahulukan pasien-pasien yang nyaris koma. Inilah 'diskrimasi' rumah sakit yang dilegalkan bahwa rumah sakit mendahulukan melayani pasien yang harapan hidupnya sisa beberapa persen.
RumahSakit itu, akar layanannya adalah kemanusiaan, sosial dan bukan kapitalisme. Perkara implementasinya kadang terkesan kapitalis, itu medan perseptual kita, dan bila itu terjadi, maka hitung-hitunglah berapa persenkah yang melakukannya karena masih lebih banyak dokter yang mematuhi sumpahnya, melayani pasien bertonggak pada wujud nurani kemanusiaannya bahwa ia benar-benar ingin menyelamatkan nyawa seseorang.
Jangan Provokasi Pasien!
Keluarga pasien yang mudah bereaksi dan marah-marah, sesungguhnya ia telah memprovokasi pasien yang juga keluarganya. Padahal pasien itu wajib ditenangkan sesuai dengan statusnya: Patient (tenang, sabar, tabah). Sebagai keluarga pasien, posisinya harus netral, tak mengambil proporsi yang tak seimbang, sebab dokter-pasien adalah mitra, lahan kooperatif. Keluarga pasien adalah jembatan dari keduanya. Semua demi percepatan kesembuhan pasien dan optimalisasi kinerja dokter/medis dan paramedis lainnya. Pastinya seorang dokter setia dengan motto lainnya: "First Do No Harm" (Jangan celakakan orang, itu yang utama).
Apakah penulis menyalahkan aksi-aksi nonverbal dan verbal pada keluarga pasien? Oh, tidak! Kenapa? Karena penulis insyaf full bahwa ini soal ignorance, soal ke-belumtahu-an hakikat layanan rumah sakit. Apakah keluarga pasien 'bodoh?', lagi-lagi bukan bodoh. Ini perkara belum terjamahnya medan perseptual keluarga pasien. Penulis berharap agar keluarga pasien belajar menyikapi layanan rumah sakit dengan hati dingin, toh demi kenyamanan keluarga Anda yang sedang dalam therapy and treatment. Pasien itu memanglah hobi berkeluh karena ia dalam posisi lemah. Rumah sakit sementereng apa pun itu, keluhan pasien takkan pernah raib, itu hukum alam. So keluarga pasien, janganlah marah-marah, karena semua bisa dikomunikasikan dengan sederhana. Dan rumah sakit-keluarga pasien, pastinya menyayangi orang yang sedang terbaring lunglai di bangsal itu, tak ingin kehilangan dia untuk selamanya, bukan?^^^
Semoga bermanfaat dan...... salam Hypocrates
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H