Tiada luka yang tak sembuh
Tiada seorangpun penulis di Kompasiana ini, menulis dan menulis agar perilakunya kian buruk. Non sence itu! Di tarik dari Barat ke Timur, dari Utara ke Selatan, seluruh penulis kangeni kebaikan, rindui kecemerlangan hidup, dan abadinya sifat-sifat murah hati, kemajuan iman dan bergunung karakter baik lainnya. Lagi-lagi, itu manusiawi. Bila kita terluka karena tulisan orang lain, atau teknik penyajian tulisan dari seorang penulis di Kompasiana ini. Maka, diamlah! Tiada penting untuk mengumumkan kepanikan dan luka itu. Luka itu tiada perlu digerak-gerakkan. Itu yang disebut sabar. Sabar itu sebuah lafaz yang begitu mudah dilontarkan, dan begitu sulit dijewantah. Sabar memang alot, butuh rangkaian-rangkaian dalam menguatkan sabar itu sendiri.
Konflik di Kompasiana itu adalah 'miniatur tagedi kemanusiaan", tragedi itu murni karena modus operandi artikel dan respon. Ini konsekuensi logik atas nama sharing and connecting. Bila terluka karena artikel orang lain, ukir saja di atas pasir, ia akan terhapus oleh deburan ombak laut. Ya, kita memanglah memiliki alasan untuk terluka dan bersedih-sedihan, namun kitapun punya argumentasi untuk menghapus kelukaan itu dengan teknik alamiah. Tiada perlu merekayasa 'pertempuran'. Itu tak elok! Lebih taktis bila kita terapi luk-luka itu. Dan efektifkan waktu untuk kesembuhannya, sebab waktu jualah yang akan me-remove kepedihan itu. Itulah pijakanku hingga kukatakan bahwa tiada luka yang tak sembuh^^^
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H