Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Terluka karena Tulisan dan Terapinya

27 Februari 2015   22:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:24 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14250231621538143516

Good writer-bad writer, itu pakem. Dua aliran dikotomik, bila bertengkar gegara artikel (tak suka, menjewer/dijewer, menyentil/disentil). Siapa pemenangnya? No, keduanya kalah! Serupa itulah deskripsi Kompasiana, keranda konflik sosial media, 'masih hidup' di sini. Perselisihan-salah paham, pun masihlah hangat di sini. Apa yang salah? Oh, tiada yang salah. Segala ini manusiawi dan wajar, begitu memang makhluk hidup bernama manusia. Selama ia masih bernafas, nafas kebaikan vs nafas keburukan pun masih terhirup-hirup, lepas dan tarik. Termemori ucapan Prof.Andi Mattulada (alm) padaku: "Selama nafasmu masih ada, problem pun keluar-masuk. Cara terbaik hindari masalah, ya mati saja".

pratanti.wordpress.com

Obor konflik itu (ringan-sedang-berat) telah menyala, terhitung sejak penulis 'direkrut' Kompasiana (8 Maret 2011), malahpun dua Kompasianer, nyaris berada di ruang 'meja hijau'. Seorang di antaranya, telah siapkan pengacara -juga seorang Kompasianer- kala itu. Semua berawal dari tulisan, yang seorang pro aktif merendahkan, seorang lagi tiada terima dilecehkan. Keduanya tersakiti, sebab jangan kira penulis yang mengolok-olok penulis lain steril dari rasa negatif, taste psikologik miring, sedih dan terundang rasa sesal -cepat atau lambat- di bilik hatinya. Aktif meluapkan kemarahan, sesungguhnyalah itu kegagalan total yang bersangkutan (pelaku kemarahan) untuk merayu jiwanya agar tetap di rel stabilitas psikis (anti guncang-anti gempa kejiwaan).

Mematikan Konflik

Berjibun artikel di media ini, manusiawi bila hadir artikel yang tak direspeki. Bukan berarti artikel itu buruk. Ini perkara selera saja. Bila tulisan itu tak baik di persepsi, tetaplah baca. Bisa jadi akan menjadi sumber inspirator nantinya. Sebab, tiada artikel yang sia-sia, bahkan saat seorang penulis layangkan bad article, sesungguhnya ia berharap kebaikan di baliknya. Bisa jadi artikel yang ditujukan kepada seseorang itu sangat 'diminta' kepada yang dialamatkan untuk mengubah perilaku dalam menulis. Bukankah itu kebaikan?

Janganlah gesit memverifikasi bahwa seluruh isi artikel itu adalah jahat, crime dan dehumanistik. Berangkatlah dari sebuah pertanyaan filosofis; mengapakah penulis itu menuliskan perkara buruk padaku? Mengapa ia buka aibku? Apakah motivasinya? Lalu, tautkan beragam jawaban. Pastikan jawaban itu seluruhnya menyalahkan diri sendiri. Dibutuhkan kejujuran ekstra untuk tuntaskan pertanyaan itu. Di momen dialog batin ini, tiada dibenarkan melawan artikulasi nurani. Nurani itulah yang benar. Ia suci dan mensucikan. Mengelak dari kata nurani, berpotensi menyuplai pikiran alot, keruh dan kotor.

Menunda perasaan

Perasaan berlebihan, disebut sensi. Ini ensiklopedia populer. Sensi itu netral, sekalipun kita telah memihak pada defenisi sensi. Sensi itu bahasa induk, melahirkan anak-anak perasaan bernama lekas tersinggung, diganjal rasa direndahkan, dan mudahnya mengambil diri. Ini sensi negatif! Di potret lain, seseorang dengan piawainya 'memublikasi' kebaikannya, yang lain boleh sensi. Sensi untuk dapat menirunya, menjadikannya model, acuan berperilaku. Ini sensi positif!

Menunda perasaan emosi negatif, selalu menolong di kemudian hari. Tak pelak, perilaku yang terobit hari ini, juga refleksi masa lalu, kejadian silam yang kerap disebut dengan trauma (kejadian terulang-ulang, red). Ini kajian psikologi yang telah lama sekali diteliti. Trauma itu beraneka, bisa berwujud trauma budaya, trauma rumahtangga, trauma cinta, trauma persahabatan dan trauma seksual. Trauma itu energi, bisa meletup dalam waktu yang tak terduga. Korban trauma itu terkesan pemberani, sesungguhnya keberaniannya itu adalah bungkusan ketakutan. Contoh, seorang yang tiba-tiba memukul meja, hakikatnya ia dalam ancaman ketakutan, tiba-tiba jadi berani begitu. Kenapa? Jawabnya; karena ia sedang aktif sembunyikan ketakutannya. Psikologi sangat akrab dengan behavior serupa ini, ini disebut displacement.

Seleksi Tulisan

Manusia normal, fungsi-fungsi indranya sangatlah sempurna. Sepasang mata bola saja -yang seketika ada benda melintas- tangan ini aktif membiaskannya benda itu. Demikan pula jiwa, ia miliki signal yang sangat kuat, sensoriknya begitu memukau. Signal 3G, 4G bahkan 100G pun kalah. Itulah bravonya sang hati, miliki notifikasi yang luar biasa. Jiwa begitu hebat melihat artikel-artikel panas, membara dan pelecut emosi. Rekomendasiku, jangan 'masuk' di lokasi itu, danger area. Boleh membacanya dengan catatan berhati dingin, tundalah komentar, pikir matang-matang. Sebab sepotong komentar dijejakkan di sana, maka itu akan menghunuskan luka. Kenapa? Karena kita kesulitan untuk netral di sana (di tulisan buruk itu, mencela, bully, etc).

Tiada luka yang tak sembuh

Tiada seorangpun penulis di Kompasiana ini, menulis dan menulis agar perilakunya kian buruk. Non sence itu! Di tarik dari Barat ke Timur, dari Utara ke Selatan, seluruh penulis kangeni kebaikan, rindui kecemerlangan hidup, dan abadinya sifat-sifat murah hati, kemajuan iman dan bergunung karakter baik lainnya. Lagi-lagi, itu manusiawi. Bila kita terluka karena tulisan orang lain, atau teknik penyajian tulisan dari seorang penulis di Kompasiana ini. Maka, diamlah! Tiada penting untuk mengumumkan kepanikan dan luka itu. Luka itu tiada perlu digerak-gerakkan. Itu yang disebut sabar. Sabar itu sebuah lafaz yang begitu mudah dilontarkan, dan begitu sulit dijewantah. Sabar memang alot, butuh rangkaian-rangkaian dalam menguatkan sabar itu sendiri.

Konflik di Kompasiana itu adalah 'miniatur tagedi kemanusiaan", tragedi itu murni karena modus operandi artikel dan respon. Ini konsekuensi logik atas nama sharing and connecting. Bila terluka karena artikel orang lain, ukir saja di atas pasir, ia akan terhapus oleh deburan ombak laut. Ya, kita memanglah memiliki alasan untuk terluka dan bersedih-sedihan, namun kitapun punya argumentasi untuk menghapus kelukaan itu dengan teknik alamiah. Tiada perlu merekayasa 'pertempuran'. Itu tak elok! Lebih taktis bila kita terapi luk-luka itu. Dan efektifkan waktu untuk kesembuhannya, sebab waktu jualah yang akan me-remove kepedihan itu. Itulah pijakanku hingga kukatakan bahwa tiada luka yang tak sembuh^^^

Salam Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun