Mohon tunggu...
Arsy
Arsy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga

Menulis tentang kajian humaniora, terutama studi gender dan budaya populer

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

False Love antara Fandom dengan Idol: Budaya Populer dalam Menciptakan Massa

21 Desember 2022   19:38 Diperbarui: 21 Desember 2022   19:52 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bagi sebagian orang yang tidak memiliki ketertarikan pada idol mungkin bertanya-tanya mengapa seseorang bisa mengidolakan idol yang belum tentu mereka melihat keberadaan fans. Keuntungan apa yang bisa diperoleh dengan memiliki keterikatan (secara tidak langsung) dengan mereka? Jika dasar pertanyaan ini ditujukan kepada para fandom idol, maka pertanyaan ini juga berlaku untuk setiap orang yang mengidolakan segala hal, seperti seniman, olahragawan, klub olahraga, politikus, bahkan sesuatu yang tidak nyata seperti karakter dalam cerita manga, anime, film, dan lain sebagainya. 

Sebagai orang yang pada awalnya merasa aneh melihat fenomena militansi fandom idol, ketika dihadapkan dengan pertanyaan serupa, saya mencoba mengingat kutipan dari Francis Bacon, seorang filsuf inggris yang mengatakan bahwa seseorang mencari objek representasi untuk dipuja berdasarkan atas rasa cinta, loyalitas, atau impian tanpa melihat keuntungan apa yang bisa diperoleh hanya demi untuk bisa menjadikannya sebagai tempat pelarian dari dunia nyata. Gagasan ini diungkapkan oleh Francis dalam konteks keagamaan yang tidak akan dibahas lebih jauh dalam tulisan ini. Esai ini hanya membahas hubungan semu yang tercipta atau “diciptakan” dari idol dan fandom.

  • Cinta Buta Fandom kepada Para Idol

 Sebelum membahas lebih jauh mengenai apa yang ada dibalik hubungan dari fandom dan idol, saya ingin menceritakan sedikit pengalaman diskusi yang pernah saya hadiri dengan beberapa akademisi yang membahas hubungan antara fandom dan idol dalam konteks budaya populer J-POP dan K-POP. Dalam diskusi tersebut, terdapat pembahasan mengenai peran fandom dalam memberikan dukungan kepada para idol yang ditunjukkan selain dengan cara menghadiri konser dan membeli merchandise para idol.

 Beberapa diantaranya yaitu dengan mengamplifikasi karya-karya yang diluncurkan oleh para idol seperti melakukan cover, fansubbing, dan recreating yang kemudian diunggah ke media sosial tanpa diminta oleh pihak agensi, dalam artian semua yang dilakukan oleh fans dilakukan secara sukarela. Aktivitas ini disebut sebagai voluntary labor dalam arti fans sebenarnya tidak mendapatkan keuntungan yang setimpal atas usaha yang dilakukannya. Lalu muncul pertanyaan mengapa fans rela melakukannya secara sukarela? 

Kesimpulan yang didapat adalah atensi dari idol sebagai salah satu hal yang diinginkan para fans, atau setidaknya dari pihak agensi yang memberikan service kepada para fans agar bisa mengadakan acara yang bisa menghubungkan fans dengan idol secara langsung sebagai bentuk apresiasi fans dari agensi.

Dari diskusi tersebut, saya mengingat kembali konsep love labour yang menjelaskan bahwa pekerjaan atau aktivitas yang dilakukan atas dasar afeksi. Fans berharap mendapatkan afeksi dalam bentuk atensi para idol. Lalu apakah menjadi permasalahan jika hubungan antara fans dan idol dikatakan sebagai voluntary labour? Selama apa yang dilakukan dan diterima sudah terpenuhi oleh kedua pihak dan tidak ada yang mempermasalahkannya tidak menjadi persoalan. 

Meskipun demikian fenomena ini masih bisa dielaborasi dengan pendekatan yang lebih jauh dari hanya sekedar kebudayaan populer. Pemahaman mengenai budaya populer tidak hanya sebatas memahami dinamika popularitas suatu kebudayaan, tetapi juga sesuatu yang bisa dilihat dari latar belakang konsep penciptaan suatu kebudayaan.

  • Kebudayaan Bukan Hiburan Semata

Sebelum berbicara lebih jauh mengenai K-POP dan J-POP sebagai produk dari budaya populer, ada baiknya kita meninjau konsep ideologi sebagai sebuah konsep yang berhubungan langsung dengan budaya populer. Selaras dengan pernyataan Graeme Turner (2003) yang menyatakan bahwa ideologi tidak bisa dipisahkan dari kajian kebudayaan sebagai sebuah fondasi untuk melihat lebih jauh kebudayaan. Ideologi bisa diartikulasikan sebagai sebuah konsep sistematis yang disepakati oleh kelompok. 

Sebagai contoh ideologi dari sebuah komunitas buruh yang memiliki arti bahwa komunitas tersebut mengusung gagasan ekononi dan sosial yang berangkat dari aspirasi dan pergerakan kaum buruh. Ideologi juga bisa menyembuyikan atau mendistorsi sesuatu. Hal ini mengindikasikan bahwa teks bisa menampilkan gambaran palsu dari ideologi asli itu sendiri, hal ini juga bisa disebut sebagai “kesadaran palsu”. Deskripsi dari ideologi ini bisa dilihat dari ideologi kapitalisme melawan ideologi sosialisme yang mengaburkan gagasan dari kebebasan dan kesetaraan yang secara tidak sadar mengaburkan siapa pihak yang berkuasa dan tertindas.

Ideologi juga mengambil peran dalam pembentukan kebudayaan di mana teks (serial drama, lagu, novel, film, dan lain-lain) dibuat untuk melegitimasi ideologi suatu kelompok. Maka dari itu, kebudayaan tidak bisa dipisahkan dari ideologi. Lalu apa yang membedakan antara ideologi dengan kebudayaan? Seperti penjelasan sebelumnya, ideologi memiliki dimensi politik yang lebih dominan daripada kebudayaan. Dengan demikian, pembahasan mengenai kebudayaan lebih dari pembahasan yang santai dan menghibur.

Kebudayaan sebagai tempat di mana teks menggambarkan keberpihakan terhadap komunitas penciptanya, maka juga berlaku untuk kebudayaan populer meskipun kebudayaan populer disebut sebagai budaya massa, di mana kebudayaan tersebut populer di setiap kalangan masyarakat. Dengan massa yang tersebar luas, maka kebudayaan populer adalah alat yang seksi untuk dimanfaatkan kelompok yang mampu menemukan celah profit di dalamnya. Keuntungan ini bisa diartikan dalam beberapa aspek seperti ekonomi atau politik.

Seperti yang disinggung pada pembahasan ideologi yang menjelaskan bahwa ideologi mampu menciptakan “kesadaran palsu” di mana secara tidak sadar apakah mereka adalah kelompok yang berkuasa atau yang tereksploitasi. Secara tidak sadar, penikmat kebudayaan populer merasa memiliki kuasa penuh atas apa yang dikonsumsi. Sebagai contoh idol yang memiliki fanbase besar dan militan, secara tidak sadar fans merasa memiliki kuasa untuk mengontrol idol. 

Hal ini berdasarkan argumen publik “idol bisa terkenal dan sukses karena peran besar fans”. Hal ini juga berlaku untuk agensi yang menaungi idol di mana mereka merasa bahwa agensi mampu mengumpulkan massa karena keberhasilan mereka dalam merencanakan dari masa training hingga debut menjadi idol besar dan mampu menggaet profit darinya. Dari dua perspektif antara fandom dan agensi terlihat bahwa fans memiliki hasrat kepuasan batin yang ingin dipenuhi dari idol sedangkan agensi melihat fans sebagai angka.

  • Agensi Sebagai “Orang Ketiga” Di antara Hubungan Fans dan Idol

Agensi sebagai pihak penghubung antara idol dan fans memiliki pengaruh signifikan dalam mengelola baik idol dan fans. Agensi bertanggung jawab atas aktivitas idol baik di belakang dan di depan publik. Citra idol dibangun di dalam agensi mulai dari gaya hidup di luar panggung hingga ketika berada di atas panggung. Lalu apakah sebenarnya idol yang muncul di permukaan tidak organik, melainkan hanya citra yang dibangun untuk menggaet massa? Video dokumenter dari Channel News Asia, “Dechipering South Korea, The Power of Hallyu” menggambarkan bagaimana kehidupan para idol dan mantan calon idol yang jauh dari kata menikmati hidup. 

Dalam dokumenter ini tidak ditemukan secara eksplisit para calon idol ingin berkarya untuk menghibur masyarakat dan hasrat untuk dicintai karena karyanya. Hal yang diperlihatkan justru bagaimana para calon idol ini ingin menjadi terkenal untuk popularitas dan hidup mewah. Lalu apakah benar bahwa karya yang rilis hanyalah kewajiban sekunder? Pada awalnya konsep idol pertama kali muncul di Jepang memang tidak mencari mereka yang pandai menyanyi atau menari, melainkan mereka yang kurang pengalaman dan memiliki karakter kawaii atau imut.

Keinginan popularitas dari para calon idol dilihat oleh agensi sebagai instrumen yang menghasilkan profit. Oleh karena itu idol dibuat sedemikian sempurna di mata publik untuk mengumpulkan massa yang menggemari para idol tersebut.

Secara tidak langsung, fans jatuh cinta atau mengidolakan para idol dari apa yang sudah dibuat oleh agensi bukan semata-mata wajah asli dari para idol. Kembali lagi pada kalimat Francis Bacon yang mengatakan bahwa orang mengidolakan sesuatu sebagai pelarian dari dunia nyata, mencari tempat di mana mereka hidup dalam mimpi. Hubungan antara fans dan idol tidak hanya sebatas angka bagi para agensi dalam memanfaatkan massa dari K-POP dan J-POP sebagai budaya populer.

Sumber Referensi:

Channel News Asia (CNA). 2021. https://www.channelnewsasia.com/watch/deciphering-south-korea/power-hallyu-2111951

Josephson-Strom, Jason. 2017. The Myth of Dischanment: Magic, Modernity, and the Birth of the Human Sciences. Chicago: University of Chicago.

Leung, Lisa Yuk-ming. 2017. #Unrequited Love in Cottage Industry? Managing K-Pop (Transnational) Fandom in Social Media Age. New York: Lexington Books.

Turner, Graeme. 2003. British Cultural Studies. London: Routledge.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun