Seperti yang disinggung pada pembahasan ideologi yang menjelaskan bahwa ideologi mampu menciptakan “kesadaran palsu” di mana secara tidak sadar apakah mereka adalah kelompok yang berkuasa atau yang tereksploitasi. Secara tidak sadar, penikmat kebudayaan populer merasa memiliki kuasa penuh atas apa yang dikonsumsi. Sebagai contoh idol yang memiliki fanbase besar dan militan, secara tidak sadar fans merasa memiliki kuasa untuk mengontrol idol.
Hal ini berdasarkan argumen publik “idol bisa terkenal dan sukses karena peran besar fans”. Hal ini juga berlaku untuk agensi yang menaungi idol di mana mereka merasa bahwa agensi mampu mengumpulkan massa karena keberhasilan mereka dalam merencanakan dari masa training hingga debut menjadi idol besar dan mampu menggaet profit darinya. Dari dua perspektif antara fandom dan agensi terlihat bahwa fans memiliki hasrat kepuasan batin yang ingin dipenuhi dari idol sedangkan agensi melihat fans sebagai angka.
- Agensi Sebagai “Orang Ketiga” Di antara Hubungan Fans dan Idol
Agensi sebagai pihak penghubung antara idol dan fans memiliki pengaruh signifikan dalam mengelola baik idol dan fans. Agensi bertanggung jawab atas aktivitas idol baik di belakang dan di depan publik. Citra idol dibangun di dalam agensi mulai dari gaya hidup di luar panggung hingga ketika berada di atas panggung. Lalu apakah sebenarnya idol yang muncul di permukaan tidak organik, melainkan hanya citra yang dibangun untuk menggaet massa? Video dokumenter dari Channel News Asia, “Dechipering South Korea, The Power of Hallyu” menggambarkan bagaimana kehidupan para idol dan mantan calon idol yang jauh dari kata menikmati hidup.
Dalam dokumenter ini tidak ditemukan secara eksplisit para calon idol ingin berkarya untuk menghibur masyarakat dan hasrat untuk dicintai karena karyanya. Hal yang diperlihatkan justru bagaimana para calon idol ini ingin menjadi terkenal untuk popularitas dan hidup mewah. Lalu apakah benar bahwa karya yang rilis hanyalah kewajiban sekunder? Pada awalnya konsep idol pertama kali muncul di Jepang memang tidak mencari mereka yang pandai menyanyi atau menari, melainkan mereka yang kurang pengalaman dan memiliki karakter kawaii atau imut.
Keinginan popularitas dari para calon idol dilihat oleh agensi sebagai instrumen yang menghasilkan profit. Oleh karena itu idol dibuat sedemikian sempurna di mata publik untuk mengumpulkan massa yang menggemari para idol tersebut.
Secara tidak langsung, fans jatuh cinta atau mengidolakan para idol dari apa yang sudah dibuat oleh agensi bukan semata-mata wajah asli dari para idol. Kembali lagi pada kalimat Francis Bacon yang mengatakan bahwa orang mengidolakan sesuatu sebagai pelarian dari dunia nyata, mencari tempat di mana mereka hidup dalam mimpi. Hubungan antara fans dan idol tidak hanya sebatas angka bagi para agensi dalam memanfaatkan massa dari K-POP dan J-POP sebagai budaya populer.
Sumber Referensi:
Channel News Asia (CNA). 2021. https://www.channelnewsasia.com/watch/deciphering-south-korea/power-hallyu-2111951
Josephson-Strom, Jason. 2017. The Myth of Dischanment: Magic, Modernity, and the Birth of the Human Sciences. Chicago: University of Chicago.
Leung, Lisa Yuk-ming. 2017. #Unrequited Love in Cottage Industry? Managing K-Pop (Transnational) Fandom in Social Media Age. New York: Lexington Books.
Turner, Graeme. 2003. British Cultural Studies. London: Routledge.