Saya pun tak tinggal diam. Diam-diam saya mengikutinya.
Kecurigaan saya pun terbukti. Ketika tiba di batas kota, keduanya masuk sebuah hotel kelas melati. Ah, saya tak kuasa lagi menceritakan peristiwa selanjutnya, Kang..." Dia langsung tertunduk.
Saya menghela nafas. Tiba-tiba ia mengangkat wajahnya. Menatap saya lekat-lekat.
"Kenapa istri saya berselingkuh, Kang?"
Sesaat saya tak mampu berkata apa-apa. Sekan ikut larut dengan apa yang ia rasakan.
"Barangkali ada hal yang kurang darimu, Mang," kata saya sejurus kemudian.
"Maksudnya?"
"Siapa tahu nafkah yang kamu berikan dianggap belum cukup," jawab saya.
"Meskipun saya bukan pegawai negeri seperti dirinya, tetapi Akang sendiri tahu, saya saban hari membanting tulang. Bertani, dan kadang-kadang mencari sampingan dari jual-beli barang. Sepertinya penghasilan kami berimbang saban bulannya."
"Maksud saya, nafkah bathin. Memenuhi kebutuhannya di ranjang," saya menjelaskan.
Sesaat dia ketawa. Lalu, "Soal itu juga rasanya saya masih mampu, Kang. Apa lagi setelah diberi resep bawang putih oleh Akang setahun lalu. Sampai sekarang saya masih rutin mengkonsumsinya. Rasanya saya tidak kalah oleh anak muda," sahutnya agak jumawa.