Kebetulan lampu di halaman rumah semi permanen itu temaram cahayanya. Setelah tengok kiri-kanan, kemudian lihat ke depan dan ke belakang berulang-ulang, Kang Ujang mendekati rumah itu.
Pantesan terdengar jelas percakapan itu, karena rupanya kamar pengantin letaknya di kamar depan. Lalu Kang Ujang pun mencari posisi yang aman. Kiranya di halaman samping dekat kamar depan ada pohon mangga yang cukup rindang. Dari sanalah Kang Ujang mulai beraksi untuk mengintip apa yang terjadi di dalam kamar.
Hanya saja sungguh sayang seribu sayang. Kang Ujang tidak bisa melihat apa yang terjadi di dalam. Meskipun memang ada berkas cahaya yang lewat dari celah daun jendela, celah itu pun tak membuat matanya dapat leluasa untuk mengintip keadaan. Soalnya terhalang oleh tirai pelapis jendela.
Apa boleh buat. Hanya dengan mendengar saja juga tak mengapa. Anggap sedang mendengarkan sandiwara radio saja. Sandiwara yang penuh dengan gelora asmara. Pengobat kecewa yang sejak tadi memenuhi dadanya.
'Aduuuh... Aa (Panggilan sayang kepada suami), sakiiitt..." kata pengantin perempuan dengan nada mengiba.
"Nah, mulai!" bisik hati Kang Ujang. Jantungnya semakin berdegup tidak karuan. Ia kembali mencari-cari lubang kecil agar dapat bisa mengintip suasana di dalam yang dianggapnya mulai panas.
Tapi yang dicari tetap saja tidak ditemukannya. Sehingga ia pun kembali memasang telinga.
"Sempit ya, Neng?" tanya suaminya penuh rasa sayang.
"Iyyaaa... A." Sahutnya dengan nada manja.
"Coba pakai air ludah dulu, ya Neng?"
"Boleh, " jawab istrinya, "Mudah-mudahan bisa masuk, ya A?!"