Lembaga penegak hukum di Indonesia, dipandang cukup lengkap sebenarnya dalam pemberantasan korupsi yang dianggap sebagai extra ordinary crime, atawa kejahatan yang luar biasa.
Dua institusi yang seharusnya berperan aktif dalam menegakkan hukum adalah kepolisian (Polri) dan kejaksaan.
Peranan kepolisian dalam menangani suatu perkara hukum adalah menerima laporan, kemudian ditindaklanjuti dengan penyelidikan, dan ditingkatkan lagi dengan penyidikan.
Apabila ditemukan unsur-unsur tindak kejahatan, maka pelaku, atawa tersangka akan dimintai keterangan, dan andaikan dianggap perlu akan dilakukan penahanan.
Selanjutnya apabila telah memiliki alat-alat bukti yang kuat, maka seluruh hasil penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan tersangka dan saksi-saksi akan dihimpun dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Kemudian BAP yang telah dinyatakan P21, atawa lengkap, selanjutnya dikirim ke kejaksaan. Status tersangka pun berubah menjadi terdakwa apabila kejaksaan memproses perkara menjadi tuntutan dalam persidangan di pengadilan.
Pelaku yang statusnya sebagai terdakwa akan disebut sebagai terpidana apabila hakim di pengadilan memvonis bersalah karena telah terbukti melakukan tindak kejahatan.
Dengan adanya kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, sebetulnya penanganan kejahatan, wa bil khusus dalam hal pemberantasan kejahatan korupsi yang merugikan uang negara, idealnya dapat ditangani secara intens.
Sehingga praktik lancung penyelenggara negara pun dapat ditekan, bahkan sudah tak ditemukan lagi adanya penyelewengan harta kekayaan negara yang dipindahkan menjadi milik pribadi secara ilegal.
Akan tetapi alih-alih dapat dibasmi sampai habis, praktik korupsi hingga sekarang ini malah semakin marak terjadi. Rakyat sampai kehilangan kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum karenanya.
Sampai-sampai di era Presiden Megawati, tepatnya si tahun 2002 lalu pemerintah memandang perlu membentuk suatu lembaga yang secara khusus menangani kejahatan yang luar biasa tersebut.
Dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rakyat yang merindukan terwujudnya pemerintahan yang baik dan bersih, serta bebas dari kejahatan korupsi, kolusi. Dan nepotisme (KKN), menyambutnya dengan antusias.
Betul. Berbagai tindak pidana korupsi yang dilakukan penyelenggara negara, mulai dari pejabat tinggi setingkat menteri, anggota parlemen, sampai banyak kepala daerah yang didakwa melakukan penyelewengan uang negara berganti status menjadi narapidana yang dijebloskan ke dalam  penjara.
Namun hingga tujuh belas tahun KPK berkiprah, korupsi masih terus terjadi. Bahkan disinyalir dengan adanya program Dana Desa, praktik korupsi tidak hanya terjadi di tingkat pusat hingga kota/kabupaten saja. Di pelosok desa pun, memindahkan uang negara ke dalam kantong pribadi para penyelenggara pemerintahan desa bukan lagi hal yang haram.
Lalu pertanyaannya, kenapa hal itu bisa terjadi. Mengapa sel yang dihuni pelaku tindak pidana korupsi semakin penuh saja, dan anehnya kegiatan maling uang negara malah semakin terstruktur dan masif saja?
Itulah masalahnya.
Menko Polhukam, Mahfud MD, tanpa tedeng aling-aling mengatakan, salah satu indikatornya adalah sejumlah vonis terhadap terdakwa kasus korupsi yang dinilai semakin hari semakin ringan.
Contohnya yang terjadi pada Idrus Marham yang terjerat kasus suap proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.
Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA), masa hukuman Idrus dipotong menjadi 2 tahun dari semula vonis 5 tahun penjara.
Contoh lain adalah vonis terhadap mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir yang divonis bebas atas kasus dugaan perbantuan dalam transaksi suap yang melibatkan mantan Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo terkait proyek PLTU Riau-1.
Majelis hakim menganggap Sofyan Basir tidak terbukti melakukan perbantuan atas transaksi suap yang melibatkan Eni dan Kotjo sebagaimana dakwaan jaksa KPK.
Maka suka maupun tidak, telunjuk publik pun langsung mengarah ke hidung Mahkamah Agung. Secara kasat mata, jelas terlihat lembaga yang dianggap sebagai benteng terahir pengadilan tertinggi di negeri ini tidak berpihak kepada upaya pemberantasan korupsi.
Sikap yang tampak terkesan ramah terhadap koruptor, dianggap telah menyakiti nurani rakyat yang paling dalam. Sehingga tak salah lagi jika Mahkamah Agung disebut sebagai tukang obral diskon hukuman.
Alih-alih para koruptor akan merasa jera, apabila perlakukan Mahkamah Agung seperti itu, maka tindak pidak korupsi pun bukannya akan dapat ditekan hingga tak ada lagi di negeri ini, melainkan justru malah akan semakin merajalela saja. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H