Dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rakyat yang merindukan terwujudnya pemerintahan yang baik dan bersih, serta bebas dari kejahatan korupsi, kolusi. Dan nepotisme (KKN), menyambutnya dengan antusias.
Betul. Berbagai tindak pidana korupsi yang dilakukan penyelenggara negara, mulai dari pejabat tinggi setingkat menteri, anggota parlemen, sampai banyak kepala daerah yang didakwa melakukan penyelewengan uang negara berganti status menjadi narapidana yang dijebloskan ke dalam  penjara.
Namun hingga tujuh belas tahun KPK berkiprah, korupsi masih terus terjadi. Bahkan disinyalir dengan adanya program Dana Desa, praktik korupsi tidak hanya terjadi di tingkat pusat hingga kota/kabupaten saja. Di pelosok desa pun, memindahkan uang negara ke dalam kantong pribadi para penyelenggara pemerintahan desa bukan lagi hal yang haram.
Lalu pertanyaannya, kenapa hal itu bisa terjadi. Mengapa sel yang dihuni pelaku tindak pidana korupsi semakin penuh saja, dan anehnya kegiatan maling uang negara malah semakin terstruktur dan masif saja?
Itulah masalahnya.
Menko Polhukam, Mahfud MD, tanpa tedeng aling-aling mengatakan, salah satu indikatornya adalah sejumlah vonis terhadap terdakwa kasus korupsi yang dinilai semakin hari semakin ringan.
Contohnya yang terjadi pada Idrus Marham yang terjerat kasus suap proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.
Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA), masa hukuman Idrus dipotong menjadi 2 tahun dari semula vonis 5 tahun penjara.
Contoh lain adalah vonis terhadap mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir yang divonis bebas atas kasus dugaan perbantuan dalam transaksi suap yang melibatkan mantan Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo terkait proyek PLTU Riau-1.
Majelis hakim menganggap Sofyan Basir tidak terbukti melakukan perbantuan atas transaksi suap yang melibatkan Eni dan Kotjo sebagaimana dakwaan jaksa KPK.
Maka suka maupun tidak, telunjuk publik pun langsung mengarah ke hidung Mahkamah Agung. Secara kasat mata, jelas terlihat lembaga yang dianggap sebagai benteng terahir pengadilan tertinggi di negeri ini tidak berpihak kepada upaya pemberantasan korupsi.