Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dia yang Piawai Bermain Kecapi dan Suling

3 Desember 2019   18:09 Diperbarui: 3 Desember 2019   18:27 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi alat musik petik kecapi (budayajawa.id)

Dahulu, di masa masih kanak-kanak, saya mempunyai teman sepermainan yang memiliki fisik yang tidak sempurna.

Jang Utar (nama lengkapnya Muhtar), kedua matanya tidak bisa melihat sejak lahir. Sehingga kemana pun pergi harus ada orang yang menuntunnya. Kecuali di sekitar rumah, karena sudah dikenalnya -- tentu saja, dengan langkah tertatih dia berjalan sendiri kalau hendak ke pancuran (tempat mandi di atas kolam ikan) untuk mandi. Terlebih lagi jika di dalam rumah, hanya dengan melalui rabaan tangannya saja dia dapat mengenali benda-benda di sekitarnya.

Karena keterbatasannya itu pula, Jang Utar tidak mengenal bangku sekolah. Sekolah luar biasa (SLB) yang khusus bagi penyandang disabilitas ketika itu hanya ada di kota kabupaten. Dan belum dikenal di kampung kami. Selain jaraknya dari kampung kami sekira 30 kilometer, bisa jadi informasi sekolah khusus tersebut belum sampai didengar warga kampung kami. Dunia Jang Utar hanya berkutat di sekitar rumahnya saja. Untuk pergi jajan ke warung saja harus dituntun oleh emaknya.

Teman bermainnya pun terbatas juga. Hanya anak-anak yang bertetangga dengannya saja. Itu pun tidak semua anak suka kepadanya. Entah mengapa. Entah karena suka banyak bertanya, entah karena enggan membantunya jika minta dituntun untuk bermain bersama.

Memang Jang Utar dianggap beberapa teman sebayanya sebagai anak buta yang cerewet. Banyak ingin tahu segala hal. Padahal bagi kami, anak yang matanya bisa melihat, sebagai sesuatu yang tidak penting. Seperti misalnya bagaimana cara belajar di sekolah, bagaimana cara bermain sepak bola, atawa seperti apa yang disebut guru dan ibu guru itu? Bagi anak-anak yang tidak sabaran, bisa jadi pertanyaan-pertanyaan itu dianggap cukup menjengkelkan.

Begitu juga jika kebetulan anak-anak yang lain akan bermain kucing-kucingan misalnya, atawa berencana untuk mencari belut di sawah, dan kebetulan Jang Utar mendengarnya, lalu ia merengek ingin ikut. Sehingga karena dianggap hanya akan merepotkan saja, apa boleh buat Jang Utar ditinggal saja. Meski ia menangis meraung-raung sekalipun.

Tidak sedikit pula anak-anak sebaya kami yang suka mengolok-oloknya. Bahkan terkesan menghina keterbatasan fisiknya itu. Jang Utar kalau sudah diperlakukan demikian hanya bisa menangis saja. Demikian juga kedua orang tuanya pun tampak merasa prihatin. Sehingga kalau sudah hilang kesabarannya, emak dan bapaknya suka melarang bermain dengan Jang Utar.

Jujur saja. Sebetulnya saya sendiri  pernah juga dilarang bermain dengan anaknya itu. oleh orang tuanya -- tentu saja. Karena saya juga pernah iseng mengolok-oloknya. Tetapi itu hanya satu kali saja. Kelakuan saya diketahui oleh orang tua saya sendiri. Bahkan ibu saya sampai menjewer kuping saya karenanya.

"Kamu tidak boleh menghina Jang Utar. Sebab bukan karena kehendaknya sendiri dia tidak bisa melihat, tetapi atas kekuasaan Allah juga. Allah akan murka jika kamu menghinanya. Kamu harus beruntung memiliki mata yang bisa melihat. Telinga yang bisa mendengar. Juga anggota tubuh yang sempurna. 

Seharusnya kesempurnaan itu digunakan untuk kebaikan. Jadilah teman Jang Utar yang baik. Banyak-banyaklah membantunya. Agar kamu mendapat pahala dari Allah." Begitu di antaranya yang dkatakan ayah saya ketika itu. lalu saya pun dibawa ke rumah Jang Utar. Saya harus meminta maaf atas perlakuan saya terhadapnya.

Sejak itu saya tidak lagi suka iseng pada Jang Utar. Apabila selesai sekolah saya suka ke rumahnya. Malahan ternyata bukan dia yang membutuhkan saya, justeru sebaliknya saya seringkali merasa merindukannya. Bukan apa-apa. Jang Utar oleh orang tuanya dibelikan kecapi, yakni alat musik petik tradisional. Ajaibnya, tanpa ada yang seorang guru pun mengajari, Jang Utar bisa memainkan alat musik itu dengan baik.

Memperhatikan Jang Utar memainkan kecapi, sembari menyanyikan kawih (lagu) Cianjuran yang berkisah tentang keindahan alam, atawa tentang keagungan Tuhan, dengan nada yang mendayu-dayu, terus-terang saja hati saya suka merasa tersentuh.

Bukan hanya kecapi saja yang mampu dimainkan Jang Utar. Suling (seruling/alat musik tiup) yang terbuat dari buluh, juga bisa dimainkannya dengan begitu apik dan laiknya pemusik profesional.

Hanya saja ketika saya sendiri disuruh Jang Utar untuk memainkan kecapi miliknya itu, meskipun berulang kali mencobanya, saya sama sekali tidak bisa. Saya angkat tangan. Menyerah. Saya jadi penikmat setianya saja.

Tetapi andaikata Jang Utar bertanya tentang kegiatan sekolah, dan meminta saya untuk mengajarinya, maka saya dengan sukacita sering mengajarinya berhitung, atawa memberitahukan pelajaran lain semampu saya yang saya peroleh di bangku sekolah.

Hanya saja yang menjadi masalah, saat Jang Utar minta diajari untuk belajar membaca. Saat itu saya mendapat kesulitan untuk menjelaskan bentuk aksara dari a hingga z. Bukankah untuk membaca tulisan, harus dilihat bentuknya?

Ketika itu, mungkin saya masih duduk di bangku kelas tiga, atawa kelas empat sekolah dasar. Untuk mengatasi masalah itu, saya tawarkan untuk membacakan buku pelajaran membaca bahasa Sunda saja. Saat itu buku pelajarannya dikenal berjudul Umi jeung Udi (Umi dan Udi).

Jang Utar pun menyetujuinya. Malahan dia tampak begitu antusias menyimaknya. Hal itu tampak dari kisah yang sudah saya bacakan sebelumnya, maka besoknya sebelum saya membaca kisah selanjutnya, dia suka mengulang kembali kisah yang sudah saya bacakan kemarin.

Semakin hari kepiawaian Jang Utar bermain musik kecapi dan suling, kian rancak saja. Demikian juga saya sendiri yang hampir saban hari membacakan cerita-cerita dari buku pelajaran membaca, semakin dituntut untuk lebih baik lagi membacanya. Bahkan kemudian bukan hanya buku "Umi jeung Udi" saja yang saya bacakan untuknya. Setelah selesai buku itu ia pun meminta saya untuk membacakan cerita-cerita lainnya.

Untung saja saya tidak kesulitan mendapatkannya. Kebetulan di rumah banyak majalah kepunyaan ayah saya. Terutama majalah berbahasa Sunda Mangle yang banyak memuat cerita misteri maupun cerita kehidupan sehari-hari.

Pertemanan dengan Jang Utar ternyata tidak berlangsung lama. Ketika saya duduk di bangku kelas dua SMP, Jang Utar meninggal dunia. Saya merasa kehilangan. Tak ada lagi yang menyanyikan kawih Cianjuran, tak ada lagi yang saban hari meminta untuk dibacakan berbagai cerita. Berkat pertemanan dengannya, sampai sekarang ternyata saya tak pernah bisa berhenti untuk membaca. Saban hari saya harus selalu membaca.

Akan tetapi yang tetap membuat saya sealu terkenang pada Jang Utar, bahwa di balik ketidaksempurnaan seseorang ada tersimpan kelebihan yang tidak dimiliki orang lain.

Karena manusia itu tidak sempurna memang. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun