Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dia yang Piawai Bermain Kecapi dan Suling

3 Desember 2019   18:09 Diperbarui: 3 Desember 2019   18:27 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi alat musik petik kecapi (budayajawa.id)

Memperhatikan Jang Utar memainkan kecapi, sembari menyanyikan kawih (lagu) Cianjuran yang berkisah tentang keindahan alam, atawa tentang keagungan Tuhan, dengan nada yang mendayu-dayu, terus-terang saja hati saya suka merasa tersentuh.

Bukan hanya kecapi saja yang mampu dimainkan Jang Utar. Suling (seruling/alat musik tiup) yang terbuat dari buluh, juga bisa dimainkannya dengan begitu apik dan laiknya pemusik profesional.

Hanya saja ketika saya sendiri disuruh Jang Utar untuk memainkan kecapi miliknya itu, meskipun berulang kali mencobanya, saya sama sekali tidak bisa. Saya angkat tangan. Menyerah. Saya jadi penikmat setianya saja.

Tetapi andaikata Jang Utar bertanya tentang kegiatan sekolah, dan meminta saya untuk mengajarinya, maka saya dengan sukacita sering mengajarinya berhitung, atawa memberitahukan pelajaran lain semampu saya yang saya peroleh di bangku sekolah.

Hanya saja yang menjadi masalah, saat Jang Utar minta diajari untuk belajar membaca. Saat itu saya mendapat kesulitan untuk menjelaskan bentuk aksara dari a hingga z. Bukankah untuk membaca tulisan, harus dilihat bentuknya?

Ketika itu, mungkin saya masih duduk di bangku kelas tiga, atawa kelas empat sekolah dasar. Untuk mengatasi masalah itu, saya tawarkan untuk membacakan buku pelajaran membaca bahasa Sunda saja. Saat itu buku pelajarannya dikenal berjudul Umi jeung Udi (Umi dan Udi).

Jang Utar pun menyetujuinya. Malahan dia tampak begitu antusias menyimaknya. Hal itu tampak dari kisah yang sudah saya bacakan sebelumnya, maka besoknya sebelum saya membaca kisah selanjutnya, dia suka mengulang kembali kisah yang sudah saya bacakan kemarin.

Semakin hari kepiawaian Jang Utar bermain musik kecapi dan suling, kian rancak saja. Demikian juga saya sendiri yang hampir saban hari membacakan cerita-cerita dari buku pelajaran membaca, semakin dituntut untuk lebih baik lagi membacanya. Bahkan kemudian bukan hanya buku "Umi jeung Udi" saja yang saya bacakan untuknya. Setelah selesai buku itu ia pun meminta saya untuk membacakan cerita-cerita lainnya.

Untung saja saya tidak kesulitan mendapatkannya. Kebetulan di rumah banyak majalah kepunyaan ayah saya. Terutama majalah berbahasa Sunda Mangle yang banyak memuat cerita misteri maupun cerita kehidupan sehari-hari.

Pertemanan dengan Jang Utar ternyata tidak berlangsung lama. Ketika saya duduk di bangku kelas dua SMP, Jang Utar meninggal dunia. Saya merasa kehilangan. Tak ada lagi yang menyanyikan kawih Cianjuran, tak ada lagi yang saban hari meminta untuk dibacakan berbagai cerita. Berkat pertemanan dengannya, sampai sekarang ternyata saya tak pernah bisa berhenti untuk membaca. Saban hari saya harus selalu membaca.

Akan tetapi yang tetap membuat saya sealu terkenang pada Jang Utar, bahwa di balik ketidaksempurnaan seseorang ada tersimpan kelebihan yang tidak dimiliki orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun