Karena itu, ada saja olok-olok bahwa beberapa biografi/autobiografi adalah sebuah bentuk kebohongan karena mengandung khayalan/imajinasi untuk mencitrakan seorang tokoh secara "tidak apa adanya". Demi memberi jalan pada modifikasi kisah hidup seseorang yang tidak dicap sebagai sebuah kebohongan, alhasil ada kreativitas melahirkan genre baru yang disebut novel biografi atau novel nonfiksi yang berbasis kisah nyata si empunya cerita.
Begitu tulis Bambang Trim. Dan begitu juga argumentasi saya terhadap tudingan salah seorang pembaca karya saya.
Hingga sekarang, gaya yang dianjurkan Bambang Trim seakan telah menjadi passion saya dalam menulis belakangan ini. Ihwal diterima, atawa masih tetap ngotot menolaknya, saya sudah tidak akan ambil pusing lagi. Tokh tulisan kita bukan lagi milik kita. Karena telah diserahkan sepenuhnya kepada khalayak pembaca.
Bukankah tugas penulis adalah menulis? Jangan lupa juga harus dibarengi dengan membaca, tentu saja. Membaca apa saja. Termasuk membaca alam raya dan segala isinya.
Lain tidak.
Hanya saja dalam menulis itu, tetap saja kitapun harus terus berupaya untuk melahirkan karya-karya yang lebih bagus dari sebelumnya. Jangan stagnan. Jangan merasa bangga berada di zona nyaman.
Seperti yang saya sendiri sering alami. Karena mengejar setoran, saya seringkali merasa tidak sreg dengan tulisan saya yang sudah diposting di Kompasiana misalnya. Sehingga mau tidak mau saya terpaksa harus mengeditnya kembali. Bahkan tidak sekali dua saja. Seringkali saya berulang kali mengedit postingan yang sudah tayang.
Terus terang. Mulai dari hal 'sepele' seperti menuliskan "di" untuk kata depan yang menunjukkan tempat, dan "di" untuk  yang menunjukkan kata kerja, selalu saja keliru dalam penulisannya. Untuk menunjukkan tempat saya menuliskannya disatukan. dibandung, misalnya. Padahal seharusnya di Bandung. Sedangkan untuk dimakan malah dipisah, jadi di makan.
Padahal seharusnya sebelum memposting, atawa mengirim suatu tulisan untuk diterbitkan, menurut para senior pun kita harus mengeditnya berulang kali. Writing and rewriting. Bahkan harus sampai bertanya pada diri kita sendiri, apakah enak atawa tidak dibacanya tulisan kita itu?
Hanya saja kenyataan berkata lain. Terlebih lagi di Kompasiana ini. Sebagaimana yang saya alami sendiri. Gara-gara ingin mengejar setoran, seperti karena ingin mendapat banyak nilai yang diberikan rekan Kompasianer, maupun berharap banyak dilihat/dibaca mereka, tak peduli tulisan itu acak-kadut, maka kita pun berupaya dengan cara banyak-banyaklah memberi komentar (penuh sanjungan dan puja-puji ala lipstik), dan memberi nilai kepada tulisan Kompasianer lain. Dijamin tulisan kita akan mendapat nilai tertinggi, atawa terpopuler. Terlebih lagi jika akun kita sudah terferivikasi, paling tidak akan mendapat tempat pada kategori artikel pilihan.Â
Tanpa sadar kita pun langsung melambung.  Tersanjung. Lantas merasa puas diri. Apa lagi jika telah mendapat Award  untuk kategori ini dan itu.