Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Tulisan Kita Bukan Milik Kita

28 November 2019   06:00 Diperbarui: 28 November 2019   06:14 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul tulisan saya kali ini terinspirasi dari sebuah postingan di Kompasiana ini:  Anak Kita Bukan Milik Kita, Tetapi Tanggung Jawab Kita. Judul postingan itu sepertinya identik dengan proses kreatif kita. Proses dalam menulis, tentu saja.

Sebab sebelum menjelma sebagai sebuah tulisan, maka ilham, ide, atawa juga gagasan yang terlebih dahulu muncul di kepala kita. Kemudian biasanya ide itu membutuhkan proses pemikiran yang mendalam. Baik dengan mengobrak-abrik bahan untuk referensi, maupun mencari langsung di lapangan.

Proses kreatif tersebut saya ibaratkan dengan janin yang sedang dikandung dalam rahim. Bagaimana sejak segumpal darah berproses kemudian menjadi wujud janin, sembilan bulan kemudian siap dilahirkan. Meskipun kurun waktu proses tersebut satu dengan lain tulisan berbeda, tapi tetap saja seperti itulah kejadiannya.

Begitu.

Ya. Setiap tulisan yang dihasilkan oleh kita, baik yang berbentuk fiksi (Cerpen, novel, lakon, maupun puisi) , atawa juga nonfiksi (berita, opini,maupun esay), apabila sudah diterbitkan untuk dibaca oleh khalayak, maka mau tidak mau sudah lagi bukan milik kita.

Nasib tulisan kita, bagus maupun buruk, sepenuhnya ada pada pembacanya. Sebagai penulisnya, kita hanya tinggal memiliki tanggung jawab saja.  

Betul. Tanggung jawab moral terutama. Misalnya saja tulisan kita tiba-tiba dituding keasliannya. Tidak otentik, dan bukan hasil jerih-payah kita. Tapi hasil plagiat. Menjiplak dari hasil karya penulis lain. Apa kira-kira tanggung jawab kita?

Demikian juga dengan kasus yang pernah dialami penulis. Salah satu tulisan hasil karya saya dituding sebagai bentuk fiksi. Karena ditulis dengan style, atawa gaya mirip cerpen. Sebagai penulis tentu saja saya langsung bereaksi.

Bukan dengan mencak-mencak, tentu saja. Atawa memarahi pembaca yang telah menuding seperti itu. Tidak. Melainkan dengan memberikan argumentasi  yang mudah-mudahan dapat diterima oleh yang bersangkutan. Bahkan syukur-syukur oleh khalayak pembaca seluruhnya.

Sebetulnya gaya tulisan yang saya suguhkan tersebut, bermula dari ajakan rekan Kompasianer Bambang Trim. Sebagai salah seorang pegiat literasi, dalam salah satu tulisannya yang dimuat di koran Kedaulatan Rakyat online, Bambang mengajak khalayak pembaca, khususnya kalangan penulis untuk bereksperimen menulis karya nonfiksi dalam bentuk fiksi. Genre yang disodorkannya itu dia sebut faksi. Maksunya merupakan kependekan dari fakta dan fiksi.

Faksi memang mengandung unsur penceritaan yang kuat karena di dalamnya ada tokoh, ada perwatakan tokoh, ada latar, dan ada alur yang diramu sesuai dengan data dan fakta sebenarnya. Tidak boleh ada "bumbu" khayalan/imajinasi di dalam faksi. Jika penulis memaksakan memodifikasi penokohan atau jalan cerita, ia sebenarnya sudah menciptakan fiksi.

Karena itu, ada saja olok-olok bahwa beberapa biografi/autobiografi adalah sebuah bentuk kebohongan karena mengandung khayalan/imajinasi untuk mencitrakan seorang tokoh secara "tidak apa adanya". Demi memberi jalan pada modifikasi kisah hidup seseorang yang tidak dicap sebagai sebuah kebohongan, alhasil ada kreativitas melahirkan genre baru yang disebut novel biografi atau novel nonfiksi yang berbasis kisah nyata si empunya cerita.

Begitu tulis Bambang Trim. Dan begitu juga argumentasi saya terhadap tudingan salah seorang pembaca karya saya.

Hingga sekarang, gaya yang dianjurkan Bambang Trim seakan telah menjadi passion saya dalam menulis belakangan ini. Ihwal diterima, atawa masih tetap ngotot menolaknya, saya sudah tidak akan ambil pusing lagi. Tokh tulisan kita bukan lagi milik kita. Karena telah diserahkan sepenuhnya kepada khalayak pembaca.

Bukankah tugas penulis adalah menulis? Jangan lupa juga harus dibarengi dengan membaca, tentu saja. Membaca apa saja. Termasuk membaca alam raya dan segala isinya.

Lain tidak.

Hanya saja dalam menulis itu, tetap saja kitapun harus terus berupaya untuk melahirkan karya-karya yang lebih bagus dari sebelumnya. Jangan stagnan. Jangan merasa bangga berada di zona nyaman.

Seperti yang saya sendiri sering alami. Karena mengejar setoran, saya seringkali merasa tidak sreg dengan tulisan saya yang sudah diposting di Kompasiana misalnya. Sehingga mau tidak mau saya terpaksa harus mengeditnya kembali. Bahkan tidak sekali dua saja. Seringkali saya berulang kali mengedit postingan yang sudah tayang.

Terus terang. Mulai dari hal 'sepele' seperti menuliskan "di" untuk kata depan yang menunjukkan tempat, dan "di" untuk  yang menunjukkan kata kerja, selalu saja keliru dalam penulisannya. Untuk menunjukkan tempat saya menuliskannya disatukan. dibandung, misalnya. Padahal seharusnya di Bandung. Sedangkan untuk dimakan malah dipisah, jadi di makan.

Padahal seharusnya sebelum memposting, atawa mengirim suatu tulisan untuk diterbitkan, menurut para senior pun kita harus mengeditnya berulang kali. Writing and rewriting. Bahkan harus sampai bertanya pada diri kita sendiri, apakah enak atawa tidak dibacanya tulisan kita itu?

Hanya saja kenyataan berkata lain. Terlebih lagi di Kompasiana ini. Sebagaimana yang saya alami sendiri. Gara-gara ingin mengejar setoran, seperti karena ingin mendapat banyak nilai yang diberikan rekan Kompasianer, maupun berharap banyak dilihat/dibaca mereka, tak peduli tulisan itu acak-kadut, maka kita pun berupaya dengan cara banyak-banyaklah memberi komentar (penuh sanjungan dan puja-puji ala lipstik), dan memberi nilai kepada tulisan Kompasianer lain. Dijamin tulisan kita akan mendapat nilai tertinggi, atawa terpopuler. Terlebih lagi jika akun kita sudah terferivikasi, paling tidak akan mendapat tempat pada kategori artikel pilihan. 

Tanpa sadar kita pun langsung melambung.  Tersanjung. Lantas merasa puas diri. Apa lagi jika telah mendapat Award   untuk kategori ini dan itu.

Akan tetapi barangkali itu lain masalahnya. Kompasiana 'kan blog keroyokan. Milik kita tapi juga bukan punya kita. Dan di sini kita punya peluang untuk saling berinteraksi. Sebagaimana halnya di media sosial. Bisa jadi wajar jika seperti demikian.

Namun jika masih memiliki asa yang menjulang tinggi, agar tulisan kita bisa lebih baik lagi dari sebelumnya, alangkah bagusnya jika kita terus berupaya untuk belajar menulis dengan meningkatkan keterampilan menulis  sebaik-baiknya.

Bukan kata saya lho. Itu kata para penulis yang sudah mendunia. Dengan hasil karyanya, tentu saja. Baik mereka yang tulisannya sudah menjadi Best Seller, maupun mereka yang sudah diganjar Nobel. Andaikan kita ingin meningkatkan karir kita, atawa paling tidak jika tulisan kita yang ditayangkan  masih berharap ada peningkatan kualitasnya. Jika sudah merasa berpuas diri di zona nyaman, barangkali itu lain lagi masalahnya.

Itu saja dulu.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun