Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lelaki Tua dan Sebilah Golok di Tangannya

27 November 2019   09:46 Diperbarui: 27 November 2019   09:57 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Cilacap.info)

(PROSA MINI)- 

Di bawah pohon trembesi yang sudah meranggas kering, lelaki tua itu selalu saja mengacung-acungkan golok di tangannya pada siapapun yang kebetulan lewat. Sementara itu dedaunan kering yang terus berguguran dari atas karena dihembus angin, dan jatuh berserak di sekitar tempat ia berpijak, tak sekalipun dihiraukannya.

Wajah lelaki tua yang sudah berkeriput itu tampak seperti memendam rasa bangga yang tak terhingga. Betapa hanya dirinya sendiri yang memiliki golok yang biasa menjadi senjata tajam andalan setiap lelaki. Orang lain tak satupun yang memilikinya.

Terkadang ia bertingkah seperti seorang pendekar silat. Memainkan goloknya dengan jurus-jurus mematikan.  Akan tetapi setiap orang yang lewat, dan sekilas melihat tingkahnya itu, selalu saja terbersit rasa iba yang tak terhingga.

Betapa tidak. Jurus-jurus silat yang dimainkan lelaki tua itu, walaupun memang mempertegas jika di masa mudanya pernah malang-melintang di dunia persilatan, namun karena otot-ototnya sudah mengendur, tulang-belulangnya mulai merapuh, apa boleh buat, jurus-jurus silat yang dimainkan, tak lebih serupa wayang golek yang sedang dimainkan seorang dalang yang masih hijau sahaja. Tidak luwes, dan apik sebagaimana mestinya.

Yang paling mengibakan, manakala lelaki tua itu sudah bertingkah bak bocah yang sedang asyik sendiri dengan permainannya.

Bisa jadi dirinya sedang membayangkan dirinya menjadi panglima perang, sebagaimana dongeng yang selalu didengarnya dari ibunya sebagai pengantar tidur. Walaupun sekuat sisa tenaga yang digerogoti usia ia berusaha untuk tampak berjalan tegap, namun langkah kaki yang ringkih, dan terbungkuk-bungkuk tetap saja sulit untuk diajak kompromi.

Apabila kebetulan ada seseorang yang mau mendengarkan ocehannya, dengan bangganya lelaki tua itu seringkali bercerita tentang golok yang seakan tak pernah lepas dari pegangannya.

Bahwa golok itu terbuat dari bahan pilihan. Semacam baja putih yang termasuk benda langka di jamannya. Sementara pembuatnya pun merupakan pandai besi pilihan. Malahan boleh dibilang sebagai Empu. Pakar pembuat senjata yang paling terkenal.

Selama dirinya malang-melintang sebagai jawara, entah berapa nyawa musuhnya yang dengan sekali ditebas lehernya langsung melayang ke neraka. Sehingga, akunya, golok itu dianggap sebagai kekasih yang sangat dicintainya. Buktinya, berapa puluh kali dirinya menikah, tak satupun perempuan yang mampu bertahan lama sebagai pendamping hidupnya.

Sebagaimana halnya para jawara, lelaki tua itu pun setiap berpetualang ke berbagai daerah, selalu saja dielu-elukan warga setempat yang menganggapnya sebagai dewa penolong, karena sudah mampu membasmi para penyamun yang seringkali merampok di kampungnya.

Sehingga tak pelak lagi apabila kebetulan matanya sekilas menemukan bunga yang paling cantik, dan harum wanginya sampai menyengat penciumannya, tanpa sungkan ia pun langsung meminta kepada kedua orang tua si gadis untuk disunting sebagai istrinya.

Akan halnya orang tua gadis terpilih pun bak mimpi ketiban bulan. Tanpa syarat apa pun diserahkannya anak gadisnya dengan hati yang ikhlas. Bahkan akan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi para orang tua manakala mendapatkan seorang menantu, seorang pendekar pilih tanding yang gagah berani membasmi kejahatan.

Akan tetapi di mata orang-orang yang sering melihat golok di tangan lelaki tua itu, tak lebih hanyalah besi tua berkarat saja. Jangankan untuk menebas leher musuh, dipakai menebas pohon pisang saja sepertinya tak akan bisa tumbang walau beberapa tebasan pun.

Begitu juga bagi para pendengarnya, kisah lelaki tua yang selalu diceritakannya itu, entah karena sudah sering didengarnya, entah karena soal lain, apa boleh buat mereka pun tak lagi mau mendengarnya dengan takzim. Bisa jadi hanyalah sebagai penghargaan terhadap lelaki paling tua, dan supaya tidak merasa sakit hatinya.

Sebaliknya lelaki tua itu justru semakin bersemangat saja saat mengisahkan jejak perjalanan hidupnya di masa lalu. Ada kenbanggaan tersendiri dalam jiwanya. Bahkan apabila menilik tingkah dan lakunya sekarang ini, lelaki tua itu sepertinya tidak, atawa belum menyadari akan keadaan dirinya.

Dia seakan masih tetap hidup di masa lalunya. Sebagai jawara pilih tanding, dengan jurus-jurus silat yang mumpuni.

Tak jarang kepada anak muda yang kesal dengan tingkah lakunya itu, lelaki tua itu pun mencoba menantang untuk berduel. Dianggapnya anak muda itu sebagai penyamun yang hendak mengganggu ketenteraman warga.

Bisa jadi karena merasa iba, dan bukannya tak sanggup melayaninya, anak muda itu lebih memilih untuk menjauh. Menghindar dari orang tua yang semakin pikun itu.

Ditinggal pergi oleh 'musuh'-nya, lelaki tua itu pun langsung menepuk dada. Belum apa-apa anak muda itu sudah menghindar. Ketakutan.

Dan dia pun merasa semakin tersanjung saja. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun