Harta, takhta, dan wanita bisa jadi merupakan impian kaum lelaki yang penuh ambisi. Dengan harta yang melimpah, takhta, atawa jabatan, atawa kedudukan pun dengan mudah akan diraihnya. Demikian juga dengan wanita selevel ratu kecantikan pun sudah tak harus pergi ke dukun lagi untuk memilikinya. Pokoknya dengan harta, dunia akan takluk kepadanya. Dan konon katanya, maka sempurnalah hidup di dunia ini.
Tidak percaya? Donald Trump miliader properti itu bisa menduduki kursi terhormat di Gedung Putih. Demikian juga dengan salah seorang Sultan dari salah satu negara bagian di negeri Jiran Malaysia, walaupun usianya sudah terbilang tua, tokh dengan mudahnya bisa menggaet ratu kecantikan asal Rusia.
Hanya saja perkara untuk bisa meraih ketiga impian itu, bagi orang kebanyakan -- kecuali dengan mereka yang keturunan dari mbahnya juga memiliki banyak harta sampai tak akan habis tujuh turunan, merupakan soal lain -- paling tidak membutuhkan usaha dengan kerja keras, ketekunan, dan keberuntungan, alias suratan nasib yang mujur.
Akan tetapi jika tidak pandai-pandai menjaganya, maka tidak menutup kemungkinan baik harta, takhta, maupun wanita akan menjadi bumerang yang mematikan. Bagi yang menguasainya tentu saja.
Sebagaimana yang dirasakan SKP (78), mantan kepala desa di salah satu desa di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Setelah pensiun dari mengajar sebagai guru SD, SKP tampaknya merasa belum cukup dipanggil "Pak Guru" oleh warga di sekitar tempat tinggalnya. Buktinya ketika di desanya akan diselenggarakan pilkades (pemilihan kepala desa), sehubungan jabatan Kades sebelumnya sudah selesai, maka dia pun mencalunkan diri untuk ikut berkompetisi.
Itu terjadi di awal tahun 1985.
Dengan bakal calon yang sebelumnya sebanyak tiga orang, menurut analisa warga, SKP tidak menjadi unggulan. Bahkan hanya dianggap sebagai pelengkap untuk menemani derita calon yang satunya lagi yang dianggap bakal menelan kekalahan.
Namun ketika testing yang diselenggarakan oleh panitia untuk penetapan calon, ternyata bakal calon yang sebelumnya diunggulkan, oleh panitia malah digugurkan. Konon ada permainan intrik yang dilakukan lawannya. Sehingga suara pendukung bakal calon yang digugurkan pun dialihkan kepada SKP. Sehingga SKP pun ketiban nasib mujur. Pada hari-H ternyata dirinya meraih suara tgerbanyak.
Perihal calon yang digugurkan, berhubung ketika itu jaman Orde Baru, testing pun meliputi bersih-bersih ideologi. Itu tuh yang dikenal dengan Litsus (Penelitian khusus). Andaikata ada dugaan pernah tersangkut G30S/PKI, atawa gerakan subversif lainnya -- seperti DI/TII pimpinan SM Kartosoewirjo, Â jangan harap bakal lolos jadi peserta.
Demikian juga halnya dengan bakal calon yang digugurkan saat itu pun dituding pernah terlibat sebagai anggota DI/TII. Padahal sebelumnya yang bersangkutan merupakan calon incumbent. Kepala Desa sebelumnya yang kembali dicalonkan oleh warga.
Maka sebutan SKP yang semula dipanggil "Pak Guru", berganti dengan "Pak Kades", atawa di daerah itu lebih akrab disebut "Pak Kuwu". Demikian juga dengan pemasukan pundi-pundi harta pun jadi berlipat-ganda. Setelah sebelumnya hanya menikmati uang pensiun golongan IVA, maka setelah jadi Pak Kuwu ditambah dari hasil padi sawah bengkok seluas delapan hektar yang menjadi haknya. Tanda tangannya pun cukup ampuh juga untuk mendatangkan lembaran rupiah.
Dengan begitu, harta dan takhta sudah berada dalam genggaman SKP. Dan tampaknya SKP yang saat itu usianya sudah kepala enam plus lima, merasa masih ada yang kurang. Bisa jadi karena sudah bosan dengan yang itu-itu saja, yakni istrinya yang sama-sama sudah tua, dan dianggapnya sudah tidak menarik lagi. Maka dengan modal harta dan takhta, SKP pun diam-diam melangkah untuk berpetualang mencari daun muda.
Mata SKP sepertinya masih sulit berpindah dari bekas anak didiknya sewaktu di SD dulu. Di antara semua murid perempuan di SD tempat ia mengajar, anak itu adalah bintangnya di mata SKP. Hanya saja saat dirinya menjadi kepala desa, anak didiknya itu sudah berkeluarga.Â
Akan tetapi ternyata hal itu tidak lagi dianggap sebagai batu sandungan. Obsesi untuk 'mencicipi' mantan anak didiknya lebih kuat dari segalanya. Melihat perempuan itu, ambruk sudah akal sehat maupun moralnya.
Entah mengapa juga, walaupun usia SKP dengan perempuan idamannya itu terpaut jauh, ditambah sudah bersuami pula, namun gayung ternyata bersambut.
Maka hubungan gelap antar dua insan pun berlangsung secara diam-diam tapi mesra, tentu saja. Apa boleh buat barangkali nafsu keduanya sudah mengandaskan akal sehat.
Hanya saja sepandai-pandainya menyembunyikan bangkai, tokh akhirnya terendus juga. Warga pun heboh. Dan di antaranya ada warga yang berniat untuk menangkap basah perkimpolan yang tak senonoh itu. Betul. Yang perempuan punya suami, Â begitu juga Pak Kades di rumahnya memiliki istri. Warga pun menyebutnya sebagai Kades yang sudah bejat moral.
Tapi niat warga yang ingin menangkap basah kelakuan tak senonoh pemimpinnya itu ternyata tidak kesampaian. Kiranya Pak Kades sudah menangkap gelagat tidak menguntungkannya itu. Buktinya Pak Kades tak lagi kelihatan menyatroni selingkuhannya itu. Padahal warga hampir saban malam mengintipnya.
Selang beberapa bulan kemudian, di salah satu kampung di wilayah kekuasaan Pak Kades SKP, sedang ada kegiatan merenovasi masjid. Sebagaimana biasanya, maka bahan-bahan bekas bangunan yang diganti oleh bahan yang masih baru akan ditumpuk di sekitar. Termasuk seng bekas atapnya juga.
Entah menganggap karena sudah menjadi rongsokan, entah karena merasa memang memiliki kekuasaan, SKP sebagai Kades tanpa pemberitahuan kepada panitia renovasi, mengam bil beberapa lembar seng bekas untuk kepentingan pribadi.
Konyolnya lembaran seng bekas itu diambilnya malam hari. Malahan dibawa menuju rumahnya dengan mengambil jalan pintas. Tidak melalui jalan besar yang biasa masih ramai. Melainkan lewat gang di pinggiran perkampungan. Bisa jadi supaya tidak diketahui orang lain.
Tetapi, ternyata ada juga yang mengetahui kelakuan SKP itu. Bahkan akhirnya menjadi heboh. Sehingga selang beberapa hari kemudian, seng bekas yang kemudian dipakai sebagai dinding pancuran di kolamnya itu, dijadikan barang bukti oleh warga.
SKP pun malam-malam dijemput dari rumahnya oleh warga. Kemudian bersama sengbekas yang diambilnya, dia diarak menuju kantor Desa.
Lewat 'pengadilan rakyat' SKP diinterogasi sampai mengakui segala perbuatannya itu. hanya saja saat yang bersangkutan menyampaikan permintaan maaf, warga malah memberikan pilihan, apakah akan mengajukan mengundurkan diri dari jabatan Kades, atawa mending dilaporkan ke pihak penegak hukum karena tindak kejahatannya itu?
Bisa jadi kalau sampai dilaporkan ke polisi, SKP pun merasa ketakutan juga. Mungkin dibenaknya terbayang malu dan sengsaranya jika harus meringkuk di penjara. Akhirnya dia memilih yang pertama. SKP besoknya mengajukan pengunduran diri ke Bupati.
Begitulah. Hanya karena seng bekas saja, jabatan yang dibanggakan itupun terpaksa harus dilepas. Apa boleh buat. Jabatan bukan untuk gagah-gagahan memang. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H