Selang beberapa bulan Zainal jadi penghuni komplek pemakaman, Maisyaroh menikah lagi dengan Kang Udin. Awal pertemuannya di tempat wisata yang terletak di desa tetangga.
Sungguh. Sejak pertama bertemu dengan yang namanya Kang Udin, saya merasa tidak respek, Â Selain bicaranya songong alias kasar, juga karena sombongnya.
Masa tidak ditanya pun dia suka mengaku-ngaku memiliki banyak uang. Dari hasil pekerjaannya sebagai pemborong bangunan. Katanya.
Tapi ternyata selama empat tahun berumah tangga dengan Maisyaroh, kami -- warga di sekitarnya tidak pernah melihat Kang Udin berangkat kerja.
Atawa paling tidak mengerjakan sesuatu yang sesuai dengan pekerjaan yang diakuinya itu. sekalinya ada kerusakan rumah Maisyaroh yang ia tinggali, tetap saja menyuruh tetangga yang dikenal sebagai tukang.
Malahan tidak hanya itu saja. Harta peninggalan Zainal, selama ini sudah banyak berpindah tangan ke orang lain. Untuk kebutuhan makan sehari-hari. Begitu kata Maisyaroh. Bahkan ketika melahirkan anak yang ke enam, anak pertama dari Udin, sebagai ketua RT saya pun terpaksa turun tangan.
Ternyata untuk biaya persalinan saja Kang Udin tidak mampu membayarnya. Apa boleh buat jajaran pengurus RT pun berembuk. Lalu dibuatkan surat keterangan tidak mampu.
Saya sendiri menemui bidan yang membantu persalinannya. Meminta keringanan biaya. Karena uang yang akan saya bayarkan pun adalah uang yang diambil dari kas RT.
Hadeuh. Dasar pembohong. Ya, bisa jadi Maisyaroh sendiri sudah tertipu oleh manusia yang satu ini.
Sekarang bikin masalah lagi. Anak di bawah umur sudah disuruh bekerja mencari nafkah. Ayah tiri macam apa dia. Sementara dia sendiri malah berleha-leha menikmati harta anak yatim.
Padahal biasanya. Ya, biasanya seorang ayah tiri akan lebih sayang kepada anak tirinya, bila dibandingkan dengan ibu tiri. Sementara yang satu ini justru seperti itu.